01 November 2009

Permasalahan Mediasi dalam Teori&Praktek

PERMASALAHAN MEDIASI DALAM TEORI

DAN PRAKTEK DI PENGADILAN AGAMA[1]



PENDAHULUAN

Studi efektivitas mediasi dalam sistem peradilan (court annexed mediation/court annexed dispute resolution) di Indonesia sejak berlakunya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perosedur Mediasi di Pengadilan, tertanggal 31 Juli 2008 (selanjutnya disebut Perma), dalam tataran teoritis dan praktis senantiasa memerlukan pengkajian yang mendalam, terutama untuk tujuan penerapan yang lebih komprehensif. Diawal pemberlakuannya, muncul dua aliran pendapat tentang kewajiban melaksanakan mediasi, apakah berlaku umum untuk semua perkara perdata yang diterima di pengadilan tingkat pertama (Pasal 2) kecuali perkara-perkara tertentu yang tersebut dalam Pasal 4, atau lebih khusus hanya untuk perkara perdata yang dihadiri kedua belah pihak berperkara di persidangan (Pasal 7). Di antara penyebab hal ini adalah persoalan klasik disekitar substansi pasal yang membuka diri untuk dipahami secara berbeda. Namun sebagai aturan main (hukum formil) yang mesti mewujudkan suatu kepastian, hal ini harus juga diatasi dengan regulasi yang lebih memberikan kepastian hukum.

Selanjutnya dalam tataran teknis pelaksanaan, penerapan Perma juga menimbulkan beberapa persoalan penting yang membutuhkan dialogis yang objektif, di antaranya sekitar kemampuan mediator dari hakim, pembiayaan untuk panggilan mediasi, standarisasi (tokok ukur) keberhasilan mediasi, pengklasifikasian jenis perkara yang dimediasi (pokok dan accessoire), pelaporan dan evaluasi. Beberapa permasalahan lain pasti masih ditemukan, baik berbentuk teori atau wacana maupun kenyataan di lapangan (aplikasi), namun dalam tulisan ini hanya difokuskan beberapa hal saja dengan paparan singkat yang bersifat deskriptif. Harapan utama tentunya agar menjadi bahan diskusi yang lebih dalam.

Disadari bahwa sifat ephemeral (keterbatasan dalam berbagai hal) menjadikan tulisan singkat ini sangat jauh dari kesempurnaan sehingga membutuhkan tegur sapa yang positif dari berbagai pihak untuk penyempurnaannya.

PEMBAHASAN

1. Differensiasi Substansial

Secara teoritis, differensiasi substansial dalam peraturan perundang-undangan melahirkan ragam pemahaman. Perbedaan pemahaman tersebut, dalam tataran praktis, akan berimbas kepada perbedaan aplikasi. Demikian pula halnya dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan memuat beberapa pasal yang interpretable. Di antaranya, dalam memahami kewajiban melakukan mediasi, sebagaimana diatur dalam Perma tersebut, setidaknya memunculkan dua alur pikir yang berbeda: Pertama, proses mediasi wajib dilalui dalam tahap pernyelesaian setiap sengketa perdata yang diajukan ke pengadilan; Kedua, mediasi wajib dilalui dalam tahap penyelesaian sengketa perdata yang diajukan ke pengadilan di saat kedua belah pihak berperkara hadir di persidangan. Terlepas dari penilaian terhadap mana diantara kedua pemahaman tersebut yang benar, yang pasti keduanya akan memberikan implikasi praktis yang berbeda.

Apabila dicermati secara anatomis, Perma tentang mediasi memuat pasal-pasal yang interpretable. Dalam Pasal 2 disebutkan bahwa “Tidak menempuh prosedur mediasi berdasarkan peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 Rbg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum”. Lebih tegas lagi dalam Pasal 4 dinyatakan bahwa “Kecuali perkara yang diselesaikan melalui prosedur pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, dan keberatan atas putusan Komisi pengawas Persaingan Usaha, semua sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan Tingkat Pertama wajib lebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui perdamaian dengan bantuan mediator”.

Pemahaman secara gramatikal yang mudah ditangkap dari bunyi kedua pasal tersebut di atas adalah bahwa mediasi wajib dilakukan untuk setiap perkara yang diajukan ke pengadilan. Pemahaman ini didukung oleh latar belakang secara historis munculnya keinginan atau semangat untuk mengintegrasikan penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi ke dalam jalur litigasi, yang diawali dengan lahirnya Sema Nomor 1 Tahun 2002, kemudian direvisi dengan Perma Nomor 2 Tahun 2003, terakhir disempurnakan lagi dengan lahirnya Perma Nomor 1 Tahun 2008, yang intisarinya adalah: (1) upaya perdamaian secara konprehensif dan sungguh-sungguh, (2) efisiensi dan efektivitas pemeriksaan persidangan, (3) menekan lajunya jumlah perkara ke tingkat kasasi yang mengakibatkan besarnya penumpukan sisa perkara di Mahkamah Agung sehingga hilangnya kepercayaan masyarakat kepada lembaga peradilan.

Dalam kerangka ini, mediasi di pengadilan dipahami sebagai bentuk intensivikasi (perluasan) makna dari upaya perdamaian yang secara formil telah dilaksanakan selama ini. Dalam pemahaman ini, mediasi adalah upaya perdamaian yang intensitasnya pelaksanaannya dilakukan lebih komprehensif dan sungguh-sungguh dengan dibantu oleh mediator. Disadari dari realita yang terjadi selama ini, upaya perdamaian yang dilakukan secara langsung oleh majelis hakim di depan persidangan kurang begitu efektif dan terkesan formalistik belaka, karena: (1) suasana persidangan kerap menimbulkan ketegangan emosional dan psikologis bagi masing-masing pihak yang bersengketa sehingga sulit mencari titik temu penyelesaian sengketa secara damai, (2) pemeriksaan persidangan terikat oleh batasan waktu dan aturan hukum acara yang berlaku sehingga nuansa mengadili lebih terasa ketimbang suasana pemufakatan, (3) memeriksa fakta dan peristiswa yang telah terjadi sehingga cendrung mengungkit kembali faktor-faktor pemicu konflik (4) tidak mungkin melakukan “kaukus” (pertemuan yang hanya dihadiri oleh salah satu pihak berperkara tanpa dihadiri pihak yang lain) untuk menemukan fakta-fakta yang dianggap perlu dalam rangka kesuksesan mediasi. Meskipun dalam perkara perceraian dimungkinkan untuk melakukan upaya perdamaian setiap kali sidang sampai perkara diputus, namun secara psikologis suasana persidangan tersebut sangat berpengaruh kepada kondisi kejiwaan kedua belah pihak berperkara, apalagi setelah dilakukan tahapan jawab menjawab yang secara emosional tentu akan memancing para pihak untuk bersikukuh mempertahankan pendapat masing-masing.

Berdasarkan pemahaman tersebut, maka pelaksanaan mediasi harus disesuaikan dengan ketentuan perdamaian yang dikehendaki oleh Pasal 130 HIR./154 R.Bg. Aplikasinya, prosedur mediasi tetap ditempuh meskipun salah satu pihak tidak hadir. Karena yang menjadi tujuan utama mediasi adalah sengketa yang sedang berlangsung tersebut dapat dihentikan oleh para pihak yang merasa berkepentingan dan selanjutnya diselesaikan secara kekeluargaan. Apabila pihak yang hadir hanya pihak penggugat, setelah dilewati tahap mediasi yang dipimpin mediator, ternyata penggugat bersedia menyelesaikan sengketanya secara kekeluargaan atau merelakan haknya sehingga penggugat mencabut perkaranya, dalam kondisi ini mediasi dapat dianggap berhasil. Demikian pula, apabila pihak yang hadir hanya pihak tergugat, setelah dilewati proses mediasi ternyata tergugat bersedia memenuhi tuntutan penggugat, dalam hal ini mediasi juga dianggap berhasil menyelesaikan sengketa antara para pihak. Dalam sisi pandang ini, kehadiran kedua belah pihak secara langsung di pengadilan tidak menjadi syarat utama munculnya kewajiban mediasi, karena yang dimediasi adalah para pihak berperkara yang secara formil telah tercantum dalam gugatan. Sekalipun salah satu pihak tidak hadir, namun secara formil pihak yang tidak hadir tersebut tidak hilang kedudukannya sebagai para pihak. Pemahaman seperti ini relevan dengan kewajiban perdamaian di depan persidangan, sebagaimana dikehendaki oleh Pasal 10 HIR/154 R.Bg, yang sekalipun salah satu pihak tidak hadir tetap wajib didamaikan. Adapun penilaian tentang mediasi berhasil atau gagal adalah sepenuhnya merupakan wewenang mediator setelah memanggil para pihak dan menjalankan proses mediasi.

Kemudian dalam Pasal 7 Perma disebutkan bahwa: (1) Pada hari sidang yang telah ditentukan yang dihadiri kedua belah pihak, hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi. (2) Ketidakhadiran pihak turut tergugat tidak menghalangi pelaksanaan mediasi. (3) Hakim, melalui kuasa hukum atau langsung kepada para pihak, mendorong para pihak untuk berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi. (4) Kuasa hukum para pihak berkewajiban mendorong para pihak sendiri berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi. (5) Hakim wajib menunda proses persidangan perkara untuk memberikan kesempatan kepada para pihak menempuh proses mediasi. (6) Hakim wajib menjelaskan prosedur mediasi dalam Perma ini kepada para pihak yang bersengketa.

Berdasarkan Pasal 7 di atas, dapat dipahami bahwa mediasi hanya wajib di saat kedua belah pihak yang berperkara hadir di persidangan. Pemahaman ini muncul dengan dasar bahwa mediasi hanya logis dilaksanakan apabila kedua belah pihak berperkara hadir di persidangan. Karena hanya dalam kondisi hadirnya kedua belah pihak tersebut permufakatan dan kesepakatan perdamaian dapat diambil. Adapun kaitannya dengan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 4 adalah bersifat pengkhususan. Pasal 2 dan Pasal 4 bersifat umum sedangkan Pasal 7 mengkhususkan ketentuan yang bersifat umum tersebut.

Hanya saja, dari penelitian terhadap jumlah perkara yang diterima di pengadilan (kasus Pengadilan Agama Simalungun) selama 2008 dan 2009 (Januari sampai dengan Oktober), ternyata hanya 22% setiap tahun dari perkara yang diterima tersebut dihadiri oleh kedua belah pihak berperkara (contradictoir), adapun sisanya sebanyak 78% diperiksa secara verstek. Kemudian perkara verzet tahun dalam tahun 2008 dan 2009 (Januari sampai dengan Oktober) hanya satu buah perkara. Hal yang sama kemungkinan tidak jauh berbeda dengan kondisi Pengadilan Agama lain. Dari realita tersebut, maka sangat sedikit jumlah perkara yang dapat dilakukan mediasi dengan pemahaman yang terakhir ini. Akibatnya target dan tujuan mediasi sebagaimana yang disebutkan dalam konsideran Perma salah satunya untuk menekan jumlah penumpukan perkara di pengadilan, tidak dapat diharapkan.

Muncul pertanyaan, bagaimana memahami ketentuan Pasal 2 dan Pasal 4 apabila dikaitkan ketentuan Pasal 7 dalam pemahaman yang pertama di atas? Tentu saja dalam alur pikir ini jawabannya adalah bahwa ketentuan Pasal 7 dipahami sebagai bentuk penjelasan teknis tentang pelaksanaan mediasi yang disebutkan dalam Pasal 2 dan Pasal 4, bukan berbentuk pengkhususan ataupun pengecualian.

Untuk kesamaan langkah tentang prosedur pelaksanaan mediasi di pengadilan, perlu kiranya diterbitkan aturan yang lebih tegas dan jelas berbentuk revisi (penyempurnaan). Secara lokal, Peradilan Agama Sumatera Utara telah menetapkan bahwa mediasi hanya wajib di saat kedua pihak berperkara hadir di persidangan.

2. Keterampilan Sebagai Mediator

Efektivitas Perma tentang mediasi memang tidak paralel dengan ketersediaan mediator yang professional di pengadilan. Pasal 1 angka 6 tentang definisi mediator tidak mensyaratkan mediator harus bersertifikat.[2] Hal ini merupakan keleluasaan yang diberikan Perma mengingat tidak mungkin menunggu adanya mediator yang bersertifikat untuk memberlakukan mediasi di pengadilan. Untuk mengatasi keterbatasan tenaga mediator yang bersertifikat di tengah kuatnya keinginan untuk mengefektifkan Perma tentang mediasi, Perma memberi keleluasaan kepada pengadilan untuk menunjuk mediator dari hakim dengan syarat bukan hakim yang menangani perkara tersebut. Sayangnya, mayoritas hakim yang diangkat menjadi mediator tidak memiliki keterampilan khusus tentang mediasi. Hal ini seharusnya menjadi salah satu faktor yang mesti diperhitungkan dalam mengukur tingkat keberhasilan mediasi di pengadilan.

Berdasarkan pemantauan penulis terhadap praktek mediasi yang dijalankan oleh mediator yang berasal dari hakim, terlihat bahwa mediator cenderung memposisikan dirinya tidak jauh berbeda dengan fungsinya sebagai hakim di depan persidangan di saat melangsungkan mediasi. Lebih jauh lagi, dampak dari tidak dipahaminya tugas dan fungsi mediator dengan baik, maka sebagian mediator yang berasal dari hakim sering melontarkan ucapan yang terkesan pesimistik dan antipati terhadap pelaksanaan mediasi. Bahkan sebagian hakim menganggap tugas sebagai mediator adalah beban dan tanggung jawab baru yang hanya memberatkan dan atau merugikan. Tentu saja hal ini sangat disayangkan, sebagai refleksi dari ketidakmengertian tentang hakikat dan tujuan mediasi. Namun demikian patut disadari bahwa timbulnya sikap demikian karena memang dalam jenjang pendidikan formal dan pelatihan-pelatihan tenaga teknis hakim selama ini tidak pernah ada materi pembekalan sekitar mediasi. Di samping itu, para hakim telah terbiasa dengan penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi yang bersifat memutus (ajudikatif). Akibatnya, ketika diberikan tugas untuk menyelesaikan sengketa melalui jalur non litigasi, terasa asing dan menyulitkan.

Berdasarkan hal tersebut, dalam jangka pendek perlu adanya kebijakan-kebijakan yang bersifat riil dari pimpinan pengadilan untuk membuat program kajian keilmuan secara berkala yang bersifat eksploratif di unit kerja masing-masing, khsususnya tetang hakikat dan tujuan mediasi serta keterampilan sebagai mediator. Selanjutnya untuk jangka panjang kalangan akademisi perlu menjadikan materi tentang mediasi sebagai salah satu pelajaran wajib yang harus dikuasi oleh hakim. Kendatipun untuk waktu mendatang mediator diharapkan berasal dari kalangan professional, bukan hakim, namun adanya keterkaitan tugas yang sangat erat antara hakim dan mediator, menjadi alasan utama pentingnya hakim mengetahui seluk beluk mediasi.

3. Panggilan untuk Mediasi

Permasalahan yang muncul dalam praktek mediasi berikutnya adalah tentang biaya panggilan untuk sidang mediasi. Konsideran Perma yang paling awal dalam mempertimbangkan pentingnya mediasi di pengadilan adalah untuk terwujudnya biaya murah dalam proses penyelesaian perkara.[3] Sebelum efektifnya Perma Nomor 1 Tahun 2008, jumlah panggilan untuk perkara cerai talak sebanyak 7 kali sedangkan untuk perkara cerai gugat sebanyak 5 kali (Buku II). Setelah diberlakukannya Perma, sebagian pengadilan membuat kebijakan untuk menambah biaya panggilan tersebut di atas sebanyak 2 kali untuk panggilan mediasi ketika menaksir panjar biaya perkara.

Dengan praktek mediasi yang hanya untuk perkara-perkara yang dihadiri oleh kedua belah pihak, khususnya praktek di Pengadilan Agama se Sumatera Utara, maka biaya panggilan untuk mediasi tidak perlu ditaksir diawal pembayaran panjar untuk menghindari pembengkakan panjar biaya perkara.

Apabila pada sidang pertama kedua belah pihak berperkara hadir, maka pada saat itu dapat ditunjuk langsung mediator oleh para pihak atau oleh majelis hakim bila para pihak tidak ada kesepakatan. Majelis hakim menunda persidangan minimal selama dua minggu untuk pelaksanaan mediasi dengan ketetapan bahwa sidang berikutnya dibuka kembali untuk mendengarkan laporan mediator. Penundaan persidangan selama dua minggu tersebut dengan pertimbangan bahwa rentang waktu dua minggu dinilai cukup untuk melakukan mediasi. Apabila pada saat persidangan dibuka kembali ternyata mediator merasa perlu memperpanjang waktu mediasi, maka mediator dapat meminta kepada majelis hakim untuk memperpanjang waktu mediasi sepanjang masih dalam batas waktu maksimal yang dibolehkan oleh Perma. Dengan cara ini, persoalan sekitar waktu tidak menjadi sesuatu yang terkesan memberatkan.

Pada hari penunjukan mediator itu, mediator yang ditunjuk dapat memulai tugasnya dengan mengadakan musyawarah dengan kedua belah pihak berperkara untuk menentukan hari pelaksanaan mediasi. Para pihak tidak perlu dipanggil untuk menghadiri mediasi pada waktu yang telah disepakati tersebut karena telah mengetahui langsung kapan hari pelaksanaannya. Bahkan apabila memungkin dapat langsung dimulai mediasi pada hari itu juga dengan syarat mediator dapat mempelajari berkas perkara atau dokumen lain yang diperlukan (seperti dalam perkara-perkara perceraian yang sudah umum dikuasai oleh hakim mediator). Apabila mediator belum dapat mempelajari peta sengketa, disebabkan jenis kasusnya cukup berat (seperti kasus waris, harta bersama, hadhanah, dll), maka hari mediasi dapat ditunda pada hari yang lain.

Apabila pada hari yang telah ditentukan kedua belah pihak atau salah satu pihak tidak hadir, maka mediator dapat menunda mediasi berikutnya pada saat sidang dibuka kembali. Sampai tahap ini biaya pemanggilan belum dibutuhkan. Apabila pada hari saat persidangan dibuka kembali untuk mendengarkan laporan mediator, sebelum persidangan dibuka, mediator dan pihak berperkara yang hadir dapat melanjutkan pelaksanaan mediasi kedua. Apabila mediator dan para pihak merasa perlu untuk melanjutkan mediasi sehingga disepakati untuk memperpanjang waktu mediasi, maka mediator memohon untuk perpanjangan waktu mediasi kepada majelis hakim di depan persidangan. Setelah majelis hakim mengabulkan permohonan perpanjangan waktu mediasi, maka mediator dapat menyepakati waktu pelaksanaan mediasi dengan para pihak yang hadir yakni pada hari sidang berikutnya dengan perhitungan bahwa pada hari itu para pihak telah dipanggil atau diperintahkan hadir oleh majelis hakim. Dengan demikian, biaya pemanggilan untuk mediasi tidak diperlukan lagi dan mediasi dapat berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dengan cara mengoptimalisasi panggilan sidang yang telah diperintahkan majelis di persidangan.

Berdasarkan uraian tersebut terlihat bahwa pembiayaan untuk panggilan mediasi tidak menjadi faktor yang memberatkan kepada para pihak berperkara (meminimalisir biaya perkara). Oleh sebab itu, biaya panggilan untuk mediasi hanya bersifat insidentil yang dapat diminta apabila sangat dibutuhkan. Hal itupun kalau biaya panggilan yang dipungut diawal dengan pola baku sebelum mediasi (7 kali untuk cerai talak dan 5 kali untuk cerai gugat) tidak dapat mengatasi biaya panggilan mediasi.

4. Tolok Ukur Keberhasilan Mediasi

Publikasi terakhir yang dilansir oleh Badilag.net tentang tingkat keberhasilan mediasi di Pengadilan Agama, yang nota-bene penerap hukum Islam, sangat jauh dari yang diharapkan. Padahal, baik kalangan akademisi maupun praktisi hukum Islam telah mengakui bahwa substansi mediasi tersebut adalah berasal dan milik hukum Islam. Kurang dari 10 % perkara-perkara perdata yang diterima di Pengadilan Agama dapat diselesaikan melalui mediasi. Kenyataan itu telah memicu munculnya pertanyaan, apakah informasi tersebut benar dan apa tolok ukur penilaian terhadap keberhasilan mediasi tersebut? Berdasarkan hal itu, maka perlu dirumuskan tolok ukur keberhasilan mediasi sebagai langkah untuk mengetahui prosentase tingkat keberhasilan mediasi secara kuantitatif dan untuk mengukur efektivitas pelaksanaan mediasi dalam rangka penyelesaian sengketa non litigasi secara kualitatif, agar diketahui berbagai permasalahan yang muncul dalam praktek mediasi di pengadilan, sehingga akhirnya dapat dirumuskan langkah-langkah efektif pemecahannya.

Dalam menghitung prosentase keberhasilan mediasi, perlu digariskan secara tegas hasil tersebut apakah prosentase dari jumlah seluruh perkara yang masuk atau hanya dari jumlah perkara yang melalui tahapan mediasi. Selanjutnya bagaimana pula penghitungan prosentase keberhasilan mediasi dalam perkara-perkara kumulasi. Semestinya penghitungan prosentase keberhasilan mediasi dalam perkara kumulasi perlu diklasifikasikan antara perkara pokok dan accessoire. Demikian pula halnya dengan perkara yang terdapat tuntutan balik (rekonvensi), karena dalam perkara kumulasi dan rekonvensi objek sengketa tersebut telah berbeda, meskipun nomor perkara dan proses pemeriksaannya disatukan dengan tujuan efektifitas, sinkronisasi dan efisiensi.

Alasan utama yang mendasari terjadinya hal ini adalah karena hampir 90 % sengketa yang diselesaikan di Pengadilan Agama merupakan perkara perceraian. Perkara perceraian adalah masalah hati, masalah hati sangat berkaitan dengan harga diri, martabat dan kehormatan keluarga besar masing-masing dan sebagainya, sehingga sulit didamaikan melalui proses mediasi. Kultur masyarakat Indonesia pada umumnya belum akan datang ke pengadilan untuk mengurus perceraian, kecuali setelah perselisihan di antara mereka tersebut mencapai titik puncak. Dalam kondisi itu, mediator di pengadilan terbukti sangat sulit menyelesaikan permasalahan yang sudah sedemikian rumit. Namun demikian, keterbatasan dalam memediasi perkara perkara perceraian mestinya tidak mempengaruhi semangat untuk memediasi perkara-perkara lain di luar perceraian.

Jumlah perkara gugatan yang diterima tahun 2009 di Pengadilan Agama Simalungun sampai bulan Oktober 2009 adalah sebanyak 252 perkara. Sebanyak 60 perkara diperiksa melalui proses mediasi. Adapun sisanya tidak melalui mediasi, baik karena diperiksa dengan cara verstek, dicabut ataupun digugurkan.

5. Mediasi dalam perkara kumulasi

Mediasi dalam perkara kumulasi harus dicermati secara professional dan proporsional. Dalam praktek di Pengadilan Agama sangat sering ditemukan perkara-perkara kumulasi. Sampai saat ini, prosentase perkara terbesar di Pengadilan Agama adalah masalah perceraian dan sebagian diantaranya dikumulasikan dengan gugatan nafkah, hadhanah, harta bersama, dan lain-lain sepanjang dibenarkan oleh ketentuan yang berlaku.

Dalam kumulasi ini perkara perceraian ditempatkan sebagai pokok perkara sedangkan yang lain ditempatkan sebagai pelengkap (accessoire). Keterbatasan kemampuan mediator dalam menyelesaikan perkara-perkara perceraian karena dianggap masalah abstrak (hati) semestinya tidak berimbas kepada penyelesaian sengketa yang riil seperti gugatan nafkah, hadhanah, harta bersama, meskipun ditempatkan sebagai accessoire. Untuk itu, perlu disadari dan dilihat bahwa dalam perkara kumulasi memuat beberapa perkara yang mempunyai karakteristik tersendiri sehingga membutuhkan mediasi yang juga berbeda.

Perlu mendapat perhatian khusus bagi mediator di Pengadilan Agama dalam memediasi perkara hadhanah. Mediasi merupakan jalan yang lebih efektif untuk menyelesaikan sengketa hadhanah ketimbang jalur litigasi, mengingat terhadap perkara ini sulit dilakukan eksekusi.

6. Mediasi dalam Perkara Rekonvensi

Praktek mediasi di Pengadilan Agama belum sampai menyentuh perkara-perkara yang muncul dalam proses persidangan melalui tuntutan balik (rekonvensi). Padahal tuntutan rekonvensi tersebut pada dasarnya merupakan satu perkara lain yang kebetulan pemeriksaannya disatukan dengan perkara awal (konvensi) untuk tujuan efektifitas dan efisiensi serta sinkronisasi sepanjang dibenarkan oleh ketentuan yang berlaku.

Untuk kasus Pengadilan Agama, mayoritas perkara cerai talak yang dihadiri oleh pemohon dan termohon di persidangan disertasi dengan tuntutan balik oleh termohon sebagai penggugat rekonvensi. Tuntutan balik itu pada umumnya meliputi perkara nafkah lampau (madhiyah), nafkah iddah, mut’ah, hadhanah dan nafkah anak, sebagian di antaranya harta bersama. Oleh karena perkara ini muncul di tengah persidangan, maka terhadap perkara ini tidak pernah ditempuh upaya perdamaian melalui mediasi dengan alasan proses persidangan telah berjalan dan tahap perdamaian telah dilalui?

Apabila direnungkan dengan seksama, dari segi substansi, perkara-perkara yang muncul dalam tuntutan balik pada dasarnya adalah perkara tersendiri, kepentingannya berbeda dan terpisah dengan pokok perkara. Hanya saja karena terdapat kaitan yang erat dengan perkara awal, maka pemeriksaannya dibenarkan bersamaan dengan pokok perkara. Dalam praktek pemeriksaan perkara gugatan rekonvensi secara umum selama ini tidak lagi ditempuh upaya perdamaian oleh majelis, hanya dalam beberapa kasus ditemukan adanya perdamaian khsusus untuk rekonvensi atas inisitif para pihak berperkara. Pada hal kalau merujuk kepada asas umum hukum acara yang berlaku, semestinya setiap sengketa yang diperiksa di persidangan harus diawali dengan upaya perdamaian. Namun dalam kenyataan praktek di persidangan, khususnya pemeriksaan tuntutan balik tidak didahului oleh upaya perdamaian, melainkan langsung kepada tanggapan tergugat rekonvensi yang bersamaan dengan replik dalam konvensi. Dengan demikian terhadap tuntutan rekonvensi langsung ke proses jawab menjawab. Apabila terjadi kesepakatan dalam tahap jawab menjawab tersebut, maka majelis hakim akan memutuskan berdasarkan kesepakatan, sebaliknya apabila tidak terjadi kesepakatan, maka majelis hakim akan memutus perkara tersebut berdasarkan alat bukti dan pertimbangan sendiri.

Dalam realita yang ditemukan di lapangan, putusan majelis hakim dalam rekonvensi yang tidak didasari oleh kesepakatan para pihak cenderung menjadi pemicu ketidakpuasan para pihak berperkara sehingga mendorong mereka untuk banding dan kasasi. Untuk itu perlu ditindaklanjuti penggunaan instrument mediasi untuk menyelesaikan gugatan rekonvensi agar rasa keadilan lebih dapat diwujudkan untuk kedua belah pihak. Apabila hal ini diterapkan, keuntungan yang dapat diperoleh adalah: (1) putusan lebih mampu mewujudkan rasa keadilan bagi kedua belah pihak, (2) proses pemeriksaan perkara lebih cepat dan sederhana serta biaya ringan, (3) kebutuhan kepada lembaga peradilan dan kepercayaan masyarakat semakin kuat, (4) masyarakat menyadari hak dan kewajiban yang timbul akibat perceraian.

7. Pelaporan dan evaluasi

Selanjutnya untuk kepentingan pelaporan dan evaluasi tentang efektivitas mediasi di Pengadilan Agama, perlu dirumuskan sistem pelaporan tersendiri untuk perkara-perkara kumulasi dan rekonvensi. Meskipun mediasi dalam perkara pokok gagal, tetapi terhadap objek perkara yang menjadi accessoire-nya berhasil, maka perlu dilaporkan tentang keberhasilan tersebut dalam laporan tersendiri.

Untuk kepentingan evaluasi, berkas perkara mediasi semestinya tidak dimusnahkan dalam pengertian dibakar atau dihanguskan, melainkan disimpan oleh unit kepaniteraan dalam satu box khusus yang bersifat sangat rahasia sehingga tertutup akses publik terhadapnya. Berkas ini dapat dibuka atas izin tertulis Ketua Pengadilan hanya untuk kepentingan penelitian tentang efektivitas mediasi oleh kalangan intern, dengan syarat perkaranya telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewizjde).

PENUTUP

Mediasi merupakan suatu keniscayaan yang mesti dilakukan sebagai upaya untuk mewujudkan peradilan yang memenuhi rasa keadilan. Transformasi paradigma lama penyelesaian sengketa litigasi ke dalam paradigma baru integrasi penyelesaian sengketa non litigasi dan litigasi masih dalam masa transisi yang secara alamiah akan menemukan tempatnya yang dinamis, apabila diterapkan secara konsisten dan konsekuen serta terus disempurnakan. Amiin.



[1]Drs.Najamuddin,S.H.,M.H.(Ketua Pengadilan Agama Simalungun) dan Candra Boy Seroza, M.Ag (Hakim PA.Simalungun).

[2]Pasal 1 angka 6: Mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian;

[3]Menimbang: a. Bahwa mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BERANDA