01 Februari 2009

PERKARA ITSBAT WAKAF DAN PEMBUKTIANNYA

A. Latar Belakang Masalah
Pranata wakaf di Indonesia dewasa ini semakin mendapat perhatian karena urgensinya dalam upaya peningkatan perekonomian umat.[1] Elaborasi terhadap beberapa aspek penting dalam pengelolaan harta wakaf senantiasa dilakukan yang salah satunya adalah aspek kepastian hukum.[2] Tujuan utama pengembangan aspek ini adalah untuk memberikan perlindungan terhadap harta wakaf agar terjauh dari upaya penyerobotan sehingga eksistensinya tetap utuh dan lestari sesuai dengan tujuan wakaf.

Kepastian hukum dari suatu akad perwakafan adalah suatu keniscayaan sebagai jaminan bahwa telah terjadi suatu peristiwa hukum perwakafan. Di antara wujud dari kepastian hukum itu adalah adanya bukti pencatatan (bukti tertulis) dalam sebuah akta otentik. Dalam konsepsi al-Quran, secara umum ditegaskan bahwa untuk menjamin kepastian hukum suatu akad (transaksi) mu’amalah ‘mesti’ dilakukan pencatatan yang posisinya lebih didahulukan daripada kesaksian.[3] Hal tersebut merupakan isyarat bahwa bukti tertulis memiliki kekuatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan bukti saksi. Hal itu secara filosofis dapat dipahami karena pencatatan lebih bersifat pasti dan tetap sehingga kecil kemungkinan terjadi kesalahan, dibandingkan dengan bukti kesaksian yang cendrung mengalami perubahan, tergantung kemampuan, daya ingat dan subjektivitas saksi sehingga mengandung kemungkinan (probabilitas) keragu-raguan. Meskipun demikian, dalam prateknya sering juga pencatatan dikumulasikan dengan saksi dalam suatu perikatan (transaksi) agar terjamin kesempurnaan pelaksanaannya.

Dalam perkembangan dunia modern, terdapat kecendrungan untuk menjadikan bukti tertulis berupa akta sebagai bukti yang wajib dipenuhi dari suatu akad.[4] Sebagai contoh, pada masa lalu perkawinan tidak memerlukan pencatatan, namun pada masa sekarang peraturan perundang-undangan di beberapa negara muslim termasuk Indonesia menetapkan bahwa perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah.[5] Demikian pula dalam hal perwakafan, dalam rangka mewujudkan kepastian hukum harta benda wakaf dalam Penjelasan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dinyatakan bahwa setiap perbuatan hukum wakaf wajib dicatat dan dituangkan dalam akta ikrar wakaf dan didaftarkan serta diumumkan sesuai dengan tata cara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.[6] Dengan demikian, dalam konteks hukum perbuatan hukum perwakafan harus dapat dibuktikan dengan akta ikrar wakaf. Kepentingannya antara lain: a. sebagai bukti otentik, b. jaminan agar tidak dilakukan penyelewenangan dan atau penyerobotan tanpa hak.
Akan tetapi dalam realita kehidupan masyarakat ditemukan banyaknya perbuatan hukum wakaf pada masa lalu yang tidak memiliki bukti tertulis. Hal ini mungkin disebabkan karena perwakafan pada masa lalu hanya didasari oleh rasa ikhlas berjuang membesarkan agama Islam tanpa memerlukan bukti tertulis, di samping perspektif fikih masa lalu juga tidak mewajibkan adanya bukti tertulis dalam setiap perbuatan hukum perwakafan.[7]
Berdasarkan data terakhir dari Departemen Agama, di Indonesia tersebar tanah wakaf di 404.845 lokasi dengan luas sekitar 1.566.672.406 meter persegi. Dari jumlah tersebut 75% di antaranya sudah memiliki sertifikat wakaf.[8] Dengan demikian, sekitar 25% harta wakaf belum memiliki sertifikat sehingga rentan menjadi sumber konflik.

Dilatarbelakangi oleh kenyataan tersebut, Hasil Keputusan Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung R.I Tahun 2007 di Makasar, di antaranya berhasil memutuskan bahwa Pengadilan Agama berwenang menerima, memeriksa dan mengadili perkara permohonan itsbat wakaf.[9] Maksudnya, dalam hal tanah wakaf yang tidak memiliki akta ikrar wakaf atau pengganti akta ikrar wakaf dapat diajukan permohonan itsbat wakaf ke Pengadilan Agama dengan berpedoman kepada petunjuk teknis Mahkamah Agung. Penetapan Pengadilan Agama tersebut menjadi dasar permohonan sertifikat tanah. Lebih lanjut, hasil keputusan tersebut juga menyebutkan bahwa persangkaan hakim dan syahadah istifadhah dalam sengketa wakaf memiliki kekuatan pembuktian yang kuat.[10]

Dari satu sisi, hasil keputusan tersebut merupakan langkah maju dalam rangka memberi kepastian hukum untuk wakaf-wakaf yang belum dikukuhkan dalam suatu akta otentik. Di sisi lain, persoalan yang harus dijawab adalah apakah yang menjadi landasan yuridis formil dari perkara itsbat wakaf tersebut dan apa pula logika hukum dari pengsangkaan hakim serta kesaksian de auditu (istifadhah) dianggap sebagai alat bukti yang kuat dalam perkara wakaf. Hal tersebut perlu dijawab agar tidak terdapat keragu-raguan dan tidak munculnya disparitas penetapan pengadilan dalam penerapannya.

Apabila dicermati substansi peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perwakafan di Indonesia,[11] memang tidak terdapat ketentuan khusus yang mengatur tentang itsbat wakaf. Hanya saja dalam ketentuan Pasal 49 huruf (e) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, ditegaskan bahwa pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: (e) wakaf. Dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan "wakaf" adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.[12] Dari teks dan penjelasan pasal tersebut tidak ditemukan penegasan secara eksplisit bentuk kewenangan tersebut, apakah secara limitatif dibatasi hanya dalam hal sengketa wakaf saja (perkara contentiosa), atau mencakup juga perkara permohonan pengesahan wakaf (perkara voluntaria).[13] Secara tekstual pasal tersebut membuka peluang ditafsirkan berbeda: Pertama, perkara wakaf yang menjadi wewenang pengadilan agama hanya dalam bentuk sengketa atau berupa perebutan sesuatu hak (contentiosa) tidak termasuk perkara itsbat wakaf (voluntaria). Kedua, perkara wakaf yang menjadi wewenang pengadilan agama mencakup sengketa wakaf dan itsbat wakaf sebab dalam Pasal 49 dan penjelasannya tidak terdapat pembatasan hanya untuk perkara contentiosa.

Persoalan yang mungkin muncul dari penafsiran tersebut adalah: Pertama, sebagaimana diketahui bahwa menurut ketentuan hukum acara yang berlaku perkara permohonan (voluntair) hanya menjadi kewenangan pengadilan apabila diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan, sementara perkara itsbat wakaf belum memiliki dasar yuridis yang jelas dan pasti kecuali berbentuk penafsiran. Kedua, dalam konvensi umum disepakati bahwa terhadap hukum formil tidak berlaku penafsiran. Ketiga, apabila perkara itsbat wakaf dapat diterima menjadi kewenangan pengadilan agama, maka dimungkinkan pula untuk menerima perkara itsbat hibah, itsbat wasiat, itsbat zakat, itsbat infak dan itsbat sadakah, karena secara tekstual perkara-perkara tersebut memiliki derajat yang sama dalam Pasal 49 tersebut. Penafsiran- penafsiran di atas mengandung kelebihan dan kelemahan, baik dari aspek yuridis formal dan materil, maupun dari aspek filosofis dan sosiologis.[14]Dengan demikian, diperlukan suatu pemahaman hukum yang tepat dan benar untuk merumuskan landasan yuridis formil perkara itsbat wakaf agar tercipta kesamaan persepsi, baik dalam teori maupun aplikasinya, terutama bagi para praktisi hukum di pengadilan agama.

Selanjutnya perkara itsbat wakaf akan berkaitan erat dengan tata cara pembuktiannya di depan persidangan. Mengantisipasi hal tersebut, seperti telah dijelaskan di atas, Keputusan Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung Tahun 2006 di Makasar juga menetapkan bahwa persangkaan hakim dan syahadah istifadhah (testimonium de auditu) menjadi alat bukti yang kuat. Keputusan tersebut sangat menarik karena secara tekstual menyalahi ketentuan hukum acara umum yang diberlaku dan diterapkan selama ini, dimana persangkaan hakim hanya menjadi alat bukti permulaan yang hanya dapat dikuatkan dengan alat bukti lain. Sementara kesaksian de auditu (istifadhah) dianggap tidak memiliki kekuatan pembuktian apa-apa dan harus dikesampingkan. Pertanyaannya apakah keputusan tersebut menjadi landasan yuridis yang bersifat eksepsional (lex specialis), kalau benar apakah justifikasinya?
Berkaitan dengan hal di atas, perlu dilakukan perumusan ulang terhadap makna kesaksian istifadhah (de auditu) tersebut. Apakah orang yang dianggap saksi secara hukum itu hanyalah orang-orang yang hadir dan menyaksikan sendiri suatu perbuatan hukum saja seperti konsep selama ini, atau termasuk juga orang-orang yang turut melihat atau mendegar atau mengalami sendiri dampak dari suatu perbuatan hukum. Seperti dalam hal wakaf, apakah yang dimaksudkan saksi wakaf hanyalah orang-orang yang menyaksikan dan menghadiri saat akad wakaf dilaksanakan, atau termasuk juga orang-orang yang tidak mengetahui persis kapan akad wakaf dilaksanakan namun mereka mengetahui secara turun temurun bahwa harta tersebut adalah harta wakaf tanpa ada yang menggugat. Kalau jawabannya hanya yang pertama, maka orang-orang yang dalam kelompok kedua di atas bila memberikan kesaksian di depan persidangan disebut saksi de auditu. Akan tetapi kalau jawabannya adalah pernyataan yang kedua, maka baik orang-orang yang turut hadir dan menyaksian akad dan orang-orang yang turut menyaksian akibat dari suatu akad adalah berhak sebagai saksi sehingga tidak disebut sebagai saksi de auditu.

B. Rumusan dan Batasan Masalah
1. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, untuk lebih memudahkan pemahaman, maka permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah:
1. Apakah Pengadilan Agama berwenang mengadili perkara permohonan itsbat wakaf, kalau berwenang apakah justifikasinya?
2. Bagaimanakah kedudukan persangkaan hakim dan kesaksian istifadhah (de auditu) dalam pembuktian perkara itsbat wakaf di Pengadilan Agama?

[1]Harta wakaf di Indonesia memiliki potensi ekonomis yang sangat tinggi. Menurut data Depag tahun 2003 dan diperkuat oleh data CSRC (Centre for the Study of Religion and Research) bahwa asset wakaf di seluruh Indonesia memiliki total nilai sekitar 590 trilyun rupiah.(Telusuri website: http://tabunganwakafindonesia.com/).
[2] Kepastian hukum merupakan salah satu dari tujuan hukum. Dalam kajian ilmu hukum, terdapat tiga aliran konvensional yang membahas tentang tujuan hukum: 1. Aliran Yuridis Etis, berpendapat bahwa tujuan hukum adalah semata-mata untuk mencapai keadilan. 2. Aliran Yuridis Utilistis, berpendapat bahwa tujuan hukum adalah semata-mata untuk menciptakan kemanfaatan atau kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi manusia dalam jumlah yang sebanyak-banyaknya.3. Aliran Yuridis Dogmatik, berpendapat bahwa tujuan hukum adalah semata-mata untuk menciptakan kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum, fungsi hukum dapat berjalan dan mampu mempertahankan ketertiban. Menurut penganut aliran yuridis dogmatik ini bahwa adanya jaminan hukum yang tertuang dari rumusan aturan perundang-undangan adalah sebuah kepastian hukum yang harus diwujudkan. Kepastian hukum adalah syarat mutlak setiap aturan, persoalan keadilan dan kemanfaatan hukum bukan alasan pokok dari tujuan hukum tetapi yang penting adalah kepastian hukum.
[3]Al-Quran dalam surat Al-Baqarah ayat 282 menyatakan:
يايهاالذين امنوا إذا تداينتم بدين إلى أجل مسمى فكتبوه وليكتب بينكم كاتب بالعدل ولا يأب كاتب أن يكتب كما علمه الله فليكتب، وليملل الذى عليه الحق وليتق الله ربه ولا يبخس منه شيئا، فإن كان عليه الحق سفيها أو ضعيفا أو لا يستطيع أن يمل هو فليملل وليه بالعدل، واستشهدوا شهدين من رجالكم فإن لم يكونا رجلين فرخل وامراتان ممن ترضون من الشهدآء أن تضل إحداهماالأخرى،ولا يأب الشهدآء إذا ما دعوا ولا تسأموا أن تكتبوه صغيرا أو كبيرا إلى أجله، ذالكم أقسط عند الله وأقوم للشهادة وأدنى ألا ترتابوا إلا أن تكون تجارة حاضرة تديرونها بينكم فليس علكم جناح ألا تكتبوها وأشهدوا إذا تبايعتم ولا يضآر كاتب ولا شهيد وإن تفعلوا فإنه فسوق بكم واتقوا الله ويعلمكم الله والله بكل شيئ علــيم.(البقرة:282(
Para mufassir dan fuqaha masa lalu memahami amar ‘pencatatan’ di atas dengan makna sunat sesuai penafsiran semantik (tata bahasa), namun untuk kondisi saat ini melalui penafsiran kontektual, amar (perintah) pencatatan dapat dipahami sebagai sesuatu yang wajib karena bekaitan dengan sendi-sendi ketertiban dan kemashlahatan umum.
[4]Dalam kajian hukum perdata, bukti tertulis terbagi kepada dua bentuk, yaitu akta dan bukan akta. Akta terbagi kepada akta otentik dan akta di bawah tangan. Dari segi kekuatan sebagai alat bukti, akta otentik menempati posisi yang paling tinggi dan memiliki kekuatan pembuktian sempurna dan mengikat.(Baca kajian lebih luas tentang hal ini dalam bab III tesis ini).
[5]Pasal 7 huruf [a] dan [b] Kompilasi Hukum Islam di Indonesia menyatakan bahwa perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah. Dalam hal perkawinan yang tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama dengan syarat-syarat yang telah ditentukan. Lihat Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
[6]Dalam penjelasan umum Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf disebutkan bahwa untuk menciptakan tertib hukum dan administrasi wakaf guna melindungi harta benda wakaf, maka perbuatan hukum wakaf wajib dicatat dan dituangkan dalam akta ikrar wakaf dan didaftarkan serta diumumkan yang pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan tata cara yang diatur dalam peraturan perundangan-undangan yang mengatur mengenai wakaf dan harus dilaksanakan.
[7]Dalam perspektif fikih klasik, pencatatan dalam urusan mu’amalah dipahami sebagai perbuatan yang bersifat sunat, sehingga persolan pencatatan tidak begitu banyak dibahas.
[8]Tim Penyusun (Direktorat Pemberdayaan Wakaf Departemen Agama R.I.), Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf, (Jakarta: Departemen Agama R.I., 2006), h.82.
[9]Hasil Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung R.I di Makassar Bidang Perdata Agama, dalam Website: http://badilag.net/ .
[10] Ibid.
[11]Peraturan perundang-undangan tentang perwakafan di Indonesia di antaranya: Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, kemudian diikuti dengan lahirnya Kompilasi Hukum Islam Tahun 1991 khususnya Buku III tentang Perwakafan, dilanjutkan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, disahkan pula Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan terakhir dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004.
[12] Penjelasan Pasal 49 Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004.
[13]Dalam hukum acara perdata, perkara perdata dilihat dari segi sifatnya, terbagi kepada dua bagian: (1) Perkara yang merupakan sengketa atau disebut juga perkara contentiosa, dan (2) Perkara yang bukan sengketa atau disebut perkara voluntaria. Perbedaan antara kedua jenis perkara tersebut adalah: Perkara contentiosa karena bersifat sengketa terdiri dari dua pihak atau lebih(Penggugat dan Tergugat), mengenai perebutan suatu hak, upaya hukumnya verzet, banding, kasasi dan PK. Sedangkan perkara voluntaria karena tidak berbentuk sengketa hanya terdiri dari satu pihak (Pemohon), bukan perebutan hak melainkan penetapan suatu hak, upaya hukumya adalah kasasi dan PK.
[14] Uraian tentang hal ini akan dijelaskan secara panjang lebar dalam bab IV.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BERANDA