01 Februari 2009

“PENGALIHFUNGSIAN HARTA WAKAF MENURUT HUKUM ISLAM”

A. Latar Belakang Masalah
Ajaran Islam memuat dua dimensi jangkauan, yaitu kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Dalam bidang sosial ekonomi, Islam mendorong pendayagunaan institusi wakaf dalam rangka peningkatan kesejahteraan umat. Muhammad Musthafa Tsalabi telah membuat rumusan wakaf dalam bentuk penahanan harta atas milik orang yang berwakaf dan mendermakan manfaatnya untuk tujuan kebaikan pada masa sekarang dan masa yang akan datang.
[1] Beberapa rumusan definisi yang dikemukakan oleh ulama lain juga mengacu kepada maksud dan tujuan yang sama dengan rumusan di atas. Sudut dan persepsi penekanan rumusan-rumusan tersebut adalah menyangkut filosofis pensyari’atan wakaf yang bertujuan untuk memberikan alternatif kehidupan sosial lebih baik kepada mauquf ‘alaih (penerima wakaf).[2]
Aplikasi rumusan wakaf yang dapat diamati di tengah masyarakat bahwa pelaksanaannya kurang mengacu kepada asas manfaat sesungguhnya. Pemahaman ‘manfaat’ atas harta wakaf hanya dipahami secara parsial, sebatas manfaat yang melekat dengan harta tersebut. Konsekuensi pemahaman dimaksud mengakibatkan suatu saat harta wakaf menjadi tak berdaya guna, karena terpaku kepada manfaat yang ternyata telah hilang.
Mengantisipasi hal ini, Kompilasi Hukum Islam sebagai hukum terapan bagi umat Islam di Indonesia telah memberanikan diri untuk membuka kemungkinan dialihfungsikannya harta wakaf yang ternyata manfaatnya tidak dapat dirasakan lagi oleh masyarakat.
Ketentuan tentang kemungkinan pengalihfungsian harta wakaf ini dapat dilihat dalam pasal 225 Kompilasi Hukum Islam. Pada ayat (1) ditegaskan bahwa pada dasarnya terhadap harta yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan atau penggunaan lain dari pada yang dimaksud dalam ikrar wakaf. Sedangkan dalam ayat (2) ditegaskan, penyimpangan dari ketentuan tersebut dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan terhadap hal-hal tertentu setelah terlebih dahulu mendapatkan persetujuan tertulis dari Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan berdasarkan saran dari Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat dengan alasan : a) Karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh wakif, b) Karena kepentingan umum.
Terhadap jaminan kemungkinan pengalihfungsian ini perlu ditela’ah lebih jauh, baik dari tataran dalil pensyariatannya ataupun dari sudut diskursus yang pernah diapungkan oleh para ulama klasik.
Diskursus yang berkembang di tengah para ulama menyangkut persoalan pengalihfungsian ini tak dapat dilepaskan dari hadis Rasulullah SAW. yang berbunyi :
حدثنا قتيبة بن سعيد حدثنا محمد بن عبد الله الأنصاري حدثنا ابن عون قال أنبأني نافع عن ابن عمر رضي الله عنهما أن عمر بن الخطاب أصاب أرضا بخيبر فأتى النبي صلى الله عليه وسلم يستأمره فيها فقال يا رسول الله إني أصبت أرضا بخيبر لم أصب مالا قط أنفس عندي منه فما تأمر به قال إن شئت حبست أصلها وتصدقت بها قال فتصدق بها عمر أنه لا يباع ولا يوهب ولا يورث وتصدق بها … (رواه البخارى)
[3]

“Menceritakan kepada kami Qutaibah ibn Said, menceritakan kepada kami Muhammad ibn Abdullah al-Anshari, menceritakan kepada kami Ibnu Aun, bahwa dia berkata, Nafi’ telah menceritakan kepadaku Ibn Umar R.A., ia berkata, bahwa Umar ibn al-Khaththab memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian ia menemui Rasulullah SAW. untuk mohon petunjuk. Umar berkata : “Ya Rasulullah, saya mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?” Rasulullah bersabda: “Bila engkau mau engkau dapat menahan fisik tanah itu, lalu sedekahkan manfaatnya. Kemudian Umar mensedekahkan manfaat (tanah itu), dia tidak menjual, tidak menghibahkan dan tidak mewariskannya…. (H.R al-Bukhari).

Hadis di atas secara tegas menjelaskan bahwa fisik harta yang diwakafkan tidak dapat di-tasharruf-kan. Hak sosial dari harta tersebut hanya menyangkut manfaat yang ada pada harta tersebut. Hanya saja sebagian ulama mencoba memberikan penalaran akan terbukanya kemungkinan mengalihfungsikan harta yang telah diwakafkan ke bentuk baru dengan manfaat yang lebih terukur. Sebagai wakil dari pemikiran kemungkinan ini dikemukakan oleh kelompok Hanafiah, meskipun mereka mengecualikan wakaf mesjid.
[4]
Sejauh diskursus yang berkembang di kalangan ulama, sepengetahuan penulis, kelompok Hanafi merupakan kelompok yang paling membuka peluang pengalihfungsian harta wakaf ini. Akan tetapi mereka tetap mengecualikan terhadap wakaf bangunan yang diperuntukan sebagai sarana ibadah (mesjid atau mushalla). Padahal sebagaimana yang telah dikutip di atas, Kompilasi Hukum Islam sama sekali tidak memberikan pengecualian ini.
Untuk menjawab persoalan di atas, maka penulis mencoba menelitinya melalui karya ilmiah (tesis) yang berjudul “PENGALIHFUNGSIAN HARTA WAKAF MENURUT HUKUM ISLAM”

B. Rumusan dan Batasan Masalah
1. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas,
untuk lebih memudahkan pemahaman, maka permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah:
Bagaimana pandangan Hukum Islam tentang pengalihfungsian harta wakaf?
Apakah harta wakaf yang dialihfungsikan masih berada dalam kerangka institusi wakaf, dan bagaimana justifikasinya?
2. Batasan Masalah
Agar pembahasan dalam tulisan ini terarah dan tidak mengambang, maka penulis memfokuskan pembahasan terhadap boleh atau tidaknya mengalihfungsikan harta yang telah diwakafkan dalam rangka mencari dan menghasilkan manfaat yang lebih terukur. Pembahasan ini juga mengungkapkan praktek perwakafan di beberapa negara muslim sebagai perbandingan.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan dari penelitian ini ialah:
a. Mengungkapkan kajian hukum Islam tentang hukum pengalihfungsian harta wakaf.
b. Mengetahui kedudukan harta wakaf yang telah dialihfungsikan dari bentuk pemanfaatan yang lama ke bentuk pemanfatan yang baru dan justifikasinya.
2. Kegunaan dari penelitian ini ialah:
a. Dengan mengangkat kajian tentang mengalihfungsikan harta wakaf ini dapat ditetapkan status hukum (boleh tidaknya) men-tasharruf-kan harta wakaf dalam bentuk mengalih-fungsikannya.
b. Untuk memperkaya khazanah intelektual hukum Islam, khususnya tentang wakaf, sebagai suatu usaha untuk meningkatkan pemahaman dan reaktualisasi nilai-nilai ajaran Islam.

D. Tinjauan Kepustakaan
Sejauh pengamatan Penulis, kajian fikih klasik yang membahas masalah wakaf sangat banyak dan pada umumnya mensyaratkan bahwa harta wakaf haruslah dimanfaatkan langsung hasilnya secara utuh sesuai dengan keinginan pemberi wakaf (wakif). Pemahaman terhadap syarat dimaksud dapat dilihat dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh fuqaha’ tentang wakaf. Perbincangan fuqaha’ menyangkut pemanfaatan harta wakaf sampai pada tataran diskursus tentang menjual dan mengganti harta wakaf. Hanya saja, telaahan terhadap pengalihfungsian harta wakaf dimaksud perlu dikaji ulang untuk mensinkronisasikan dengan keadaan kekinian. Oleh karena itu kajian terhadap persoalan ini sangat penting untuk dikaji ulang dari sudut dimensi hukum Islam.
Beberapa literatur yang telah membicarakan tentang perwakafan secara umum dan tidak secara khusus membahas tentang pengalihfungsian harta wakaf. Namun demikian, beberapa literatur yang telah membahas tentang perwakafan tersebut dijadikan sumber landasan teoritis dalam kajian ini, di antaranya:
- Idaratu wa Tasmiru Mumtalikatu al-Awkaf oleh Hasan Abdullah Amin (1989).
- Dauru al-Waqf fi al-Mujtami’at al-Islamiyyah oleh Muhammad M. al-Arnaulth (2000).
- Al-Mughni wa al-Sarh al-Kabir oleh Ibn Qudamah (1997).
- Majmu’ al-Fatawa Syeikh al-Islam Ahmad Ibn Taimiah oleh Abdurrahman ibn Muhammad ibn Qasim al-‘Ashimi.
- Al-Fiqh al-Islami al-Muqarran ma’a al-Mazahib oleh Fathi al-Duraini (1980).
- Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf oleh M. Daud Ali (1988)
- Pedoman Praktis Perwakafan oleh Asutarmadi, Muhammad Hadisaputra dan Amidan (1989).
- Permasalahan Wakaf di Indonesia (Makalah) oleh Dirjen Bimas Islam dan penyelenggaraan Haji (2003)
- Peranan Wakaf dalam mewujudkan Kesejahteraan Sosial (Studi Kasus Pengelolaan Wakaf di Jakarta Selatan), (Disertasi) oleh Uswatun Hasanah (1997).
- Managemen Kelembagaan Wakaf oleh Uswatun Hasanah (2002).
- Wakaf dalam Islam (makalah) oleh M. Anwar Ibrahim (2002).
Semua sumber tersebut tidak membahas secara khusus tentang pengalihfungsian harta wakaf. Namun demikian beberapa sumber tersebut sangat banyak dirujuk sebagai landasan teoritis pembahasan ini.

E. Definisi Operasional
Untuk lebih jelasnya pembahasan tesis ini dan mendekatkan pemahaman, perlu dijelaskan beberapa istilah dalam pembahasan tesis ini yakni, wakaf, mengalihfungsikan dan hukum Islam.
Secara etimologis kata “wakaf” berasal dari bahasa Arab, yaitu kata benda abstrak (mashdar) waqfan, atau kata kerja (fi’il) waqafa-yaqifu yang berarti “ragu-ragu, berhenti, memberhentikan, memahami, mencegah, menahan, menggantikan, memperlihatkan, meletakkan, mengabdi dan tetap berdiri”.
[5] Adapun secara terminologi, wakaf dirumuskan dengan definisi yang berbeda-beda oleh para ulama. Di antaranya ulama mazhab Hanafi, merumuskan wakaf dengan: “Menahan suatu harta yang merupakan milik pewakaf, kemudian menyumbangkan manfaatnya di jalan kebaikan”.[6] Menurut ulama mazhab Malikiyah, sebagaimana dikutip oleh Muhammad Musthafa Tsalaby, wakaf ialah: “Penahanan suatu harta dari bertindak hukum, seperti menjual-belikannya, terhadap harta yang dimiliki serta harta itu tetap dalam pemilikan si wakif dan memproduktifkan hasilnya untuk keperluan kebaikan”.[7]
Sementara itu, menurut Imam al-Syafi’i dan Ahmad ibn Hanbal, seperti diungkapkan oleh Muhammad Jawad Mughniyah, wakaf itu berupa “penahanan harta dari ber-tasarruf dan mensedeqahkan hasilnya serta berpindah pemilikan harta dari orang yang berwakaf kepada orang yang menerima wakaf dan tidak boleh bertindak sekehendak mauquf alaih”.[8]
Perbedaan rumusan wakaf tersebut di atas merupakan salah satu kajian dalam tesis ini untuk dianalisis secara komparatif guna mengungkapkan kelebihan dan kekurangan masing-masingnya.
Selanjutnya, dalam banyak kitab fikih klasik yang membahas tentang wakaf pada umumnya menetapkan bahwa asal harta wakaf harus dipertahankan. Advantage (keuntungan) terhadap mauquf ‘alaih (penerima wakaf) hanyalah manfaat ‘seketika’ dari asal harta wakaf tersebut. Karenanya dalam praktek tradisional wakaf ditemukan pengejawantahannya lewat harta tidak bergerak, seperti mesjid, bangunan, tanah, dan lain-lain.
Oleh sebab itu, yang penulis maksud dengan ‘mengalihfungsikan’ di sini secara konkrit adalah mengganti bentuk dan substansi harta wakaf ke bentuk yang baru, karena bentuk dan substansi yang lama tidak lagi dapat menampung tujuan dari pensyariatan wakaf yang bertujuan untuk memberikan manfaat dan jasa harta tersebut.
Hukum Islam yang dimaksudkan dalam pembahasan ini adalah seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua yang beragama Islam.
[9]
Dengan demikian, yang penulis maksudkan secara keseluruhan dari judul tesis ini adalah tinjauan Hukum Islam terhadap pengalihfungsian harta wakaf.

F. Metode Penelitian
Penelitian tesis ini berbentuk penelitian kepustakaan (library research) yang bersifat normatif-analisis. Metode penelitian ini mencakup tiga hal :
1. Pengumpulan dan Sumber data. Data yang dikumpulkan adalah yang diperoleh dari berbagai literatur yang relevan dengan pembahasan serta berhubungan dengan masalah pokok yang ingin dibahas dalam tesis ini.
Sumber data penelitian ini berasal dari data sekunder yang secara garis besar dapat dikelompokkan kepada dua bagian, yakni: sumber primer yang diperoleh dari kitab-kitab fikih dan peraturan perundang-undangan. Kemudian sumber sekunder yakni : a) buku-buku referensi yaitu berupa: literatur umum standar seperti: ensiklopedi, kitab-kitab fikih, kumpulan hadis dan sebagainya; b) artikel dalam Jurnal dan majalah, dalam hal ini jurnal dan majalah yang berkaitan dengan dunia peradilan, seperti; Mimbar Hukum, Pustaka Peradilan, Varia Peradilan, dan juga dalam bentuk publikasi surat kabar, dan data yang diperoleh dari website internet.
2. Pengolahan data. Data yang telah diperoleh diolah berdasarkan metode berpikir induktif, deduktif dan komparatif. Metode berpikir induktif adalah pemahaman terhadap kasus-kasus khusus ke dalam bentuk yang bersifat umum. Metode berpikir deduktif menarik kesimpulan khusus dari informasi yang bersifat umum. Sedangkan metode berpikir komparatif adalah membandingkan data-data yang ada satu sama lain untuk ditarik suatu solusi apabila terdapat perbedaan.
3. Analisis data. Data-data yang telah diolah dengan menggunakan metode berpikir induktif, deduktif dan komparatif disarikan menjadi suatu kesimpulan akhir.

G. Sistematika Penulisan
Pada dasarnya kajian tesis ini merupakan satu kesatuan utuh dan terpadu yang dibagi kepada lima bab. Masing-masing bab dikonstruksi dengan sistematis berdasarkan landasan filosofisnya sebagai berikut.
Bab pertama, adalah pendahuluan yang memberi arah untuk pembahasan seluruhnya. Dalam bab ini dikemukakan latar belakang masalah yang menguraikan secara jelas urgensi penelitian ini dilakukan. Pada rumusan dan batasan masalah dikemukakan pertanyaan-pertanyaan pokok yang dijadikan pijakan dan cakupan serta batasan masalah yang menjadi fokus penelitian. Pada bab ini juga dikemukakan tujuan dan kegunaan penelitian yang menggambarkan sasaran akhir dari penelitian ini. Selanjutnya dikemukakan tinjauan pustaka untuk mengungkapkan beberapa penelitian yang telah ada sebelumnya dan menggambarkan spesifikasi yang membedakannya dengan penelitian-penelitian yang telah ada sebelumnya. Adapun metode penelitian dijelaskan secara tegas dan lugas untuk memberikan kepastian mekanisme penelitian ini dilakukan, baik dalam mengumpulkan data, mengolah serta menyimpulkannya. Pada bagian akhir bab ini dikemukakan sistematika secara filosofis dari keseluruhan pembahasan tesis ini.
Landasan teoritis dari tesis ini diungkapkan dalam bab kedua dan ketiga. Pada bab II dijelaskan secara umum dan singkat tentang wakaf dan permasalahannya. Bab ini diawali dengan mengemukakan definisi wakaf yang dirumuskan oleh para ulama, yang sesungguhnya menjadi dasar utama terjadi perbedaan pendapat dalam menetapkan substansi wakaf tersebut. Berkaitan dengan hal ini dijelaskan pula macam-macam wakaf. Langkah selanjutnya menjelaskan dasar pensyari’atan wakaf, menguraikan rukun dan persyaratan wakaf, dan dikemukakan pula tentang nazir wakaf.
Pada bab ketiga dikemukan tentang wakaf dalam pandangan ulama fikih dan perundang-undangan di Indonesia. Diawali dengan menjelaskan tentang interpretasi ulama fikih terhadap dalil-dalil pensyari’atan wakaf. Kemudian menjelaskan tetang penelaran ulama fikih terhadap nash syar’i yang berkaitan dengan perwakafan, khususnya dalam mengistinbathkan hukum tentang kemungkinan menjual dan mengembangkan harta wakaf. Selanjutnya dijelaskan pula tentang wakaf dalam ketentuan perundang-undangan di Indonesia. Bab ini menjadi acuan perbandingan untuk membahas persoalan utama tesis yang akan dibahas pada bab selanjutnya.
Bab keempat merupakan inti dari tesis ini yang berisi tentang hasil penelitian dan pembahasan. Diawali dengan menjelaskan praktek perwakafan di bebarapa negara muslim. Hal ini perlu diungkapkan sebagai bahan perbandingan untuk melihat pesatnya perkembangan institusi wakaf dalam dunia kontemporer. Selanjutnya dilakukan analisis terhadap alihfungsi harta wakaf menurut hukum Islam.
Bab kelima adalah akhir pembahasan yang memuat kesimpulan dari seluruh pembahasan dan saran-saran yang dianggap penting sehubungan dengan penelitian ini serta untuk tetap eksisnya nilai-nilai hukum Islam yang universal dalam kehidupan masyarakat.
[1]Muhammad Musthafa Tsalabi, al-Ahkam al-Washaya wa al-Awqaf, (Mesir: Dar al-Ta’lif, t.th.), h. 333.
[2]Lihat al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Mesir: Dar al- Fikr, t.th.), jilid III, h. 378. Bandingkan juga dengan Muhammad Jawad Mughniyah, al-Ahwal al-Syakhshiyyah, (Mesir: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1964), h. 301.
[3]Imam al-Bukhary [w. 256 H.], Shahih al-Bukhary, (Beirut : Dar al-Qalam, 1987), bab al-syuruth, hadis nomor 2532. Hadis ini diriwayatkan juga oleh Imam Muslim [w. 261 H.], dalam kitab Shahih Muslim, bab al-washiyat, hadis nomor 3085; dan diriwayatkan juga oleh Imam Imam al-Turmuzi [w. 297 H.], dalam kitab Sunan al-Turmuzi, bab al-ahkam ‘an Rasul, hadis nomor 1376; diriwayatkan juga oleh Imam al-Nasa’i [w. 303 H.], dalam Sunan al-Nasa’i, bab al-ahbas, hadis nomor 3546 dan 3547; diriwayatkan juga oleh Imam Abu Daud [w. 275 H.]dalam Sunan Abi Daud, bab al-washaya, hadis nomor 2493; diriwayatkan juga oleh Imam Ibnu Majah [w. 275 H.], dalam Sunan Ibnu Majah, bab al-ahkam, hadis nomor 2387 dan 2388; diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad ibn Hanbal [w. 241 H.], dalam Musnad Ahmad, bab musnad al-muktsirin min al-shahabah, hadis nomor 4379, 4932, dan 5805; Lihat takhrij hadis ini dalam: Jami’ al-Huquq Mahfuzhah, Mausu’ah al-Hadits al-Syarif, (Beirut : Global Islamic Software Company, 1991-1996), edisi ke-II. Bandingkan juga dengan, Muhammad al-Syaukani, Nail al-Authar, (Mesir: Mushtafa al-Baby wa Auladuhu, t.th.), juz VI, h. 24.
[4]Kamal al-Din Muhammad ibn ‘Abd. Al-Wahid al-Siwasy, Fath al-Qadir, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), juz VI, h. 199.
[5]Louis Ma’luf al-Yusu’i, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, (Beirut: Dar al-Masyriq: 1986), h. 914.
[6]Muhammad Amin ibn Abidin, Hasyiyah Rad al-Mukhtar, (Beirut : Dar al-Fikr, 1992), juz IV, h. 337.
[7]Muhammad Musthafa Tsalabi, al-Ahkarn al-Washaya wa al-Awqaf, (Mesir: Dar al-Ta’hf, [t.th.]) h. 333.
[8]Muhammad Jawad Mughniyah, op.cit., h. 335.
[9]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), Jilid I, h. 5.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BERANDA