03 November 2011

Kedudukan Talak Di Luar Pengadilan

KEDUDUKAN TALAK DI LUAR PENGADILAN

Candra Boy Seroza

PENDAHULUAN

Belakangan ini muncul kembali beberapa pertanyaan klasik dari sebagian masyarakat tentang kedudukan talak yang dijatuhkan suami di luar pengadilan ditinjau dari ketentuan hukum Islam yang berlaku di Indonesia. Hal yang sama juga ditemukan dalam beberapa proses pemeriksaan kasus-kasus perceraian yang diajukan ke pengadilan agama, bahkan dalam persepsi sebagian pencari keadilan bahwa kedatangan mereka ke pengadilan agama hanya untuk mengurus akta cerai sebagai bukti administratif belaka. Realita tersebut merupakan refleksi objektif dari belum sempurnanya efektifitas pelaksanaan hukum Islam di Indonesia di bidang perkawinan, khususnya dalam hal perceraian di sebahagian kecil masyarakat Islam di Indonesia. Kendatipun UU Perkawinan telah diberlakukan sejak tahun 1974, yang secara historis dinilai oleh para pakar hukum sebagai tonggak awal keberhasilan perjuangan umat Islam di Indonesia dalam memberlakukan UU yang substansinya berasal dari hukum Islam secara nasional, kemudian diikuti pula dengan pemberlakuan Kompilasi Hukum Islam sejak tahun 1991, yang pada hakikatnya merupakan produk ijtihad kolektif para pakar hukum Islam di Indonesia (fikih Indonesia) yang salah satu materinya bidang perkawinan, namun masih ditemukan berbagai praktek hukum yang tidak sejalan dengan ketentuan hukum Islam yang telah diberlakukan tersebut.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka upaya mendiskusikan dan menjelaskan kembali akar persoalan dari terjadinya hal tersebut dan upaya sosialisasi hukum Islam yang berlaku di Indonesia kepada seluruh komponen masyarakat muslim menjadi sebuah keniscayaan (conditio sine qua non) agar hukum Islam sebagai Rahmatanlil’alamin dapat diberlakukan secara sempurna.

MENILIK AKAR PERSOALAN

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh beberapa akademisi dapat dilihat beberapa variabel penyebab yang melatarbelakangi belum efektifnya penerapan hukum Islam di Indonesia, antara lain:

1. Fanatisme mazhab dan sakralitas fikih yang berlebihan oleh kalangan sebagian umat Islam.

Masih kuatnya pemahaman keagamaan yang mensakralkan fikih ulama tertentu di sebagian masyarakat, sehingga timbul sikap tidak menerima pendapat lain yang berbeda. Penyebab hal ini adalah karena tidak bisa membedakan secara jelas antara istilah Syariah, Fikih dan Hukum Islam, ironisnya seringkali fikih dianggap sebagai harga mati, bahkan sebagai agama (al-din) yang tidak boleh diubah. Adapun pengertian masing-masing istilah syariah, fikih dan hukum Islam sebagai berikut:

a. Syari’ah

Subhi al-Mahmasani merumuskan Syariah dengan:[1]

النصوص المقدسة من الكتاب والسنة الصحيحة

“Nash-nash yang suci dari al-Quran dan Sunah yang shahih”

Oleh sebab itu, syari’at adalah segala ketentuan yang disyariatkan Allah (Ma anzalallah/Khitabullah/Wahyu) kepada RasulNya untuk diikuti dalam mengatur hubungan manusia dengan Allah, dengan manusia lainnya serta lingkungan dan alam sekitarnya.[2] Dengan pengertian tersebut maka istilah syari’ah mencakup aqidah, ibadah, muamalah dan akhlak.[3]

Adapun nash al-Quran dan Sunnah yang berkaitan dengan hukum disebut hukum Syar’i, yakni:

خطاب الله المتعلق بأفعال المكلفين إقتضاء أو تخييرا أو وضعا.

“Khitab Allah yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf baik berupa tuntutan, pilihan atau ketetapan”.

b. Fikih

Fikih adalah pemahaman terhadap syariah. Priodesasi pengertian fikih dalam sejarah Islam:[4]

- Al-fahm

- al-‘ilmu

- Kumpulan hukum

- معرفة حكم الشرعي العملية المكتسب من أدلة التفصلية

- العلم بالأحكام الشرعية العملية المكتسب من أدلتها التفصلية

- مجموعة الحكم الشرعي العملية المكتسب من أدلتها التفصلية

1. Pemahaman tentang hukum-hukum syar’I yang bersifat praktis yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.

2. Ilmu tentang tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat praktis yang diambil dari dalil-dalil yang tafshili/terperinci”.

3. Kumpulan hukum-hukum syar’i yang bersifat praktis yang diambil dari dalil-dalil yang tafshili/terperinci”.

Dengan pengertian tersebut secara sederhana dapat dikatakan bahwa fikih adalah hasil pemahaman manusia (mujtahid) terhadap syari’ah. Dengan pengertian tersebut kemudian muncul istilah fikih Irak, fikih Kuffah, fikih Imam Hanafi, Maliki, al-Syafi’I, Hanbali, Daud al-Zahiri, dll. Produk pemikiran hukum secara individu tersebut dalam rentang sejarah kemudian diikuti oleh sekelompok masyarakat tertentu sehingga mengkrital menjadi mazhab.

c. Hukum Islam

Istilah hukum Islam tidak ditemukan dalam literatur berbahasa Arab. Istilah ini merupakan istilah khusus di Indonesia yang dalam literatur barat dikenal dengan Islamic Law.

Pengertian hukum adalah seperangkat aturan tetang perbuatan manusia yang bersumber dari ketentuan formal atau informal berupa adat kebiasaan yang diyakini berlaku dan mengikat bagi masyarakat tertentu.[5]

Menurut Amir Syarifuddin, hukum Islam adalah seperangkat aturan yang bersumber dari Allah SWT dan Rasulnya tentang perbuatan manusia yang diyakini berlaku dan mengikat bagi umat Islam di wilayah tertentu.[6]

Dengan pengertian tersebut, maka hukum Islam merupakan fikih yang sudah di-qanun-kan sehingga menjadi hukum positif yang berlaku dan mengikat bagi umat Islam di suatu daerah atau wilayah tertentu. Oleh sebab itu, Rifyal Ka’bah merumuskan bahwa hukum Islam adalah pemahaman syariat yang telah diformulasikan dalam bentuk teks hukum berupa konstitusi, undang-undang dan peraturan yang mengikat warga negara.[7] Dengan pengertian tersebut, maka dikenal istilah hukum Islam di Indonesia, hukum Islam di Mesir, Hukum Islam di Malaysia, hukum Islam di Sudan, Maroko dan lain-lain.

Secara historis, upaya kodifikasi hukum Islam secara tertulis telah dimulai di India sejak masa pemerintahan Raja An-Rijeb (Au Rangzeb) yang dikenal dengan Fatwa Alamfiri, kemudian masa kekhalifahan Turki Usmani yang dikenal dengan nama Majalah al-Ahkam al-Adliyah, dan hukum Islam bidang kekeluargaan yang dikodifikasikan di Mesir dengan nama Kitab Al-ahkam alSyakhsiyyah. Dalam perkembangan berikutnya, di berbagai dunia Islam atau negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim hukum keluarga telah dikodifikasikan dalam bentuk peraturan perundang-undangan, seperti: Turki (1915), Sudan (1916), Lebanon (1917), Pakistan (1947), Syria (1953), Brunei Darussalam (1955), Tunisia (1956), Maroko (1957), Libia (1959), Irak (1959), Iran (1967), Kuwait (1971), Afganistan (1971), Indonesia (1974), Yaman Selatan (1974), Somalia (1975), Yordan (1976), Yaman Utara (1976), Malaysia (1983), Algeria (1984), Mesir (1985), Banglades (1980).[8]

Tujuan kodifikasi hukum Islam ke dalam bentuk tertulis adalah: a. unifikasi hukum, b. kepastian hukum, c. kemudahan untuk merujuk sebagai pedoman.

Berdasarkan hal itu, maka terdapat perbedaan (differensiasi) substansial antara istilah syariat, fikih dan hukum Islam, diantaranya adalah:

1. Syariat bersumber dari Allah dan RasulNya sehingga kebenarannya bersifat absolut, sedangkan fikih dan hukum Islam bersumber dari manusia sehingga kebenarannya bersifat relatif.

2. Syariat berlaku secara universal, sedangkan fikih dan hukum Islam berlaku secara lokal.

3. Syariat bersifat abadi sepanjang masa, sedangkan fikih dan hukum Islam bersifat temporer dan berubah sesuai dengan perkembangan zaman dan masa.

4. Syariat bersifat idealistis, sedangkan fikih dan hukum Islam bersifat realistis.

5. Syariat bersifat unity (satu kesatuan) sedangkan fikih dan hukum Islam bersifat differsity (beragam).

Persamaan dan perbedaan antara fikih dan hukum Islam. Persamaannya adalah keduanya sama-sama merupakan hasil olah pikir manusia berdasarkan ijtihad bersumber dari Al-Quran dan Sunnah. Sedangkan perbedaannya adalah fikih tidak bersifat mengikat, sedangkan hukum Islam bersifat mengikat karena telah ada campur tangan pemimpin atau penguasa untuk mengaturnya.

Dengan demikian, menempatkan fikih sebagai hasil ijtihad individu pada posisi yang lebih kedudukannya daripada syariah adalah sama sekali tidak tepat, karena fikih bersumber dari hasil pemikiran manusia sementara syari’ah bersumber dari Allah SWT.

2. Proses sosialisasi hukum Islam yang berlaku di Indonesia tidak tersebar secara merata dan menyeluruh di tengah-tengah masyarakat.

Penyebarluasan materi hukum Islam ditengah-tengah masyarakat dan kurikulum pendidikan di bidang hukum Islam masih kental bernuansa “fikih oriented” ketimbang hukum positif di Indonesia. Akibat dari hal ini, maka pengetahuan masyarakat tentang hukum akan terpecah-pecah atau beragam sesuai dengan kepercayaan atau pendapat orang yang menyampaikan, sehingga kerapkali dalam suatu masalah yang sama terdapat solusi hukum yang berbeda yang akihrnya membingungkan.

Pemberlakuan UUP di Indonesia memiliki dasar hukum yang kuat secara konstitusional. Kemudian kehadiran Kompilasi Hukum Islam sebagai hasil ijtihad kolektif (ijtihad jama’i) para ahli hukum Islam di Indonesia meskipun telah diberlakukan dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, tanggal 10 Juni 1991, yang diikuti oleh Keputusan Menteri Agama RI Nomor 154 Tahun 1991, tanggal 22 Juli 1991 ternyata belum tersosialisasi secara baik.

Kehadiran UUP dan KHI pada dasarnya merupakan kebijakan pemerintah dalam rangka unifikasi hukum demi terwujudnya kepastian hukum. Ragam pendapat mazhab atau fikih yang berkembang tidak dapat dipungkiri telah melahirkan kerancuan dan kecauan dalam penetapan hukum. Sementara itu tuntutan perkembangan masyarakat modern pada saat ini membutuhkan sebuah kepastian agar kehidupan masyarakat menjadi tertib.

3. Masih terdapat paham yang mendikotomikan antara ketentuan hukum agama dengan hukum negara sebagai pengaruh lanjutan dari politik hukum Belanda untuk memisahkan antara kepentingan agama dan negara (sekulerisme).

Posisi kekuasaan dalam hukum Islam sangat penting, karena adagium hukum menyatakan: “Hukum tanpa kekuasaan adalah hampa, sedangkan kekuasaan tanpa hukum akan aniaya”. Untuk memaksakan keberlakuan sebagian hukum, terutama yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, tidak ada jalan lain kecuali melalui kekuasaan. Wujud kekuasaan dalam istilah al-Quran disebut dengan Ulil Amri, yakni setiap pemimpin yang mengajak kepada kemashlahatan. Salah satu wujud kepatuhan kepada Allah dan Rasul direalisasikan dalam bentuk kepatuhan untuk mengikuti aturan hukum yang ditetapkan oleh Ulil Amri (QS.An-Nisa’[4]:59).

Pengejawantahan sikap dan perilaku patuh terhadap aturan yang telah dibuat oleh pemimpin ternyata tidak terealisasi dengan baik, bahkan sampai saat ini yang diperdebatkan secara panjang lebar adalah tentang konstitusi negara Indonesia, apakah status negara kita Islam atau bukan.

4. Adanya conflict interest (tarik-menarik kepentingan) secara politis dalam pemberlakuan hukum Islam, baik untuk kepentingan secara, organisasi atau kelompok tertentu.

Ada tiga sistem hukum yang saling tarik menarik dalam sistem sistem hukum nasional di Indonesia, yakni sistem hukum Islam, sistem hukum barat dan sistem hukum adat. Strategi umat Islam untuk dapat berperan secara dominan dalam sistem hukum nasional Indonesia yang paling efektif dengan cara memasukan substansi hukum Islam ke dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia dengan teori substan-sialisme. Beberapa undang-undang yang bersumber dari al-Quran dan hadis sampai hari ini berhasil diberlakukan secara nasional seperti UUPerkawinan, UU Wakaf, UU Zakat, UU Perbankan Syari’ah.

HAKIKAT TALAK MENURUT HUKUM ISLAM

Apabila ditelusuri sumber hukum Islam, al-Quran (QS.al-Baqarah [2]:227-237,Q.S.al-Nisa’[4]:19,34,35,128,130,Q.S.al-Ahzab[33]: 28,29,39, QS. al-Thalaq[65]:1,2,4,6,7) dan Sunnah shahih, yang mengatur tentang talak dan berbagai aspek hukum di dalamnya, maka dapat ditarik beberapa garis hukum tentang perceraian sebagai berikut:

1. Perceraian adalah dibolehkan dalam Islam sebagai jalan terakhir untuk menyelamatkan suami isteri dan anak-anak dalam kondisi rumah tangga yang tidak mungkin dipertahankan lagi.

2. Meskipun perceraian dibolehkan, namun perbuatan tersebut sangat dibenci oleh Allah SWT mengingat besarnya dampak negatif yang akan timbul akibat perceraian.

3. Meskipun perceraian dibolehkan dalam kondisi dharurat, namun perceraian harus dilakukan dengan cara-cara ihsan (baik). Makna ihsan mencakup asas keadilan, persamaan dan pemeliharaan hak dan kewajiban serta harus didasari oleh alasan atau alasan-alasan yang dibenarkan hukum.

4. Perceraian merupakan salah satu perbuatan hukum yang tidak boleh dilakukan semena-mena (serampangan) untuk menjaga sakralitas institusi perkawinan.

Dari beberapa pokok pikiran tersebut, maka yang menjadi nilai-nilai mutlak dan tidak mungkin diubah dalam ajaran Islam tentang perceraian (nilai-nilai kategori Syari’ah) adalah kebolehan perceraian dalam kondisi tertentu, sedangkan tata cara pelaksanaannya secara “ihsan” adalah bersifat umum dan dinamis serta berkembang sesuai dengan tuntutan kemaslahatan masyarakat.

Sebagai contoh, dalam hadis riwayat Ibnu Abbas r.a disebutkan bahwa talak pada masa Rasulullah SAW dan Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq serta dua tahun masa kekhalifahan Umar ibn al-Khaththab, yang dijatuhkan tiga kali sekaligus dihitung satu, setelah itu di saat masyarakat mulai mempermain-mainkan talak, maka Khalifah Umar ibn al-Khaththab menetapkan talak yang dijatuhkan tiga kali sekaligus dihitung tiga.[9]

Ketetapan Umar tersebut secara zhahir terlihat bertentangan dengan ayat al-Quran (ath-thalaqu marrataini) yang menyatakan talak itu dua kali serta berbeda dengan praktek hukum pada masa Rasulullah dan Abu Bakar. Namun oleh karena substansi talak pada hakikatnya adalah untuk memelihara institusi perkawinan, maka Umar selaku penguasa pada waktu itu berani menetapkan hukum yang tidak sama dengan praktek pada zaman Rasul dan Abu Bakar.

Apabila dilihat dari segi rentang waktu terjadinya perubahan hukum di sekitar talak pada masa Umar tersebut kurang lebih hanya empat tahun setelah Rasulullah SAW wafat terjadi perubahan kondisi masyarakat sehingga Umar memandang perlu adanya perubahan hukum karena mempertahankan ketentuan yang lama dalam kondisi masyarakat yang suka mempermain-mainkan talak akan berakibat tidak tercapainya tujuan pensyari’atan talak sebagai proteksi untuk melindungi institusi perkawinan. Apalagi apabila dibandingkan dengan situasi dan kondisi masyarakat modern sekarang yang rentang waktunya sudah lebih kurang 14 abad yang silam tentu mengalami perubahan dan perkembangan yang jauh lebih besar dan sudah pasti menuntut kajian hukum yang lebih dalam pula untuk dapat menerapkan hukum sesuai dengan tuntutan perubahan.

Pada masa lalu, sebagian ulama berpendapat bahwa hak talak merupakan hak mutlak suami sehingga suami dapat menggunakan haknya tersebut kapan, dimana dan dengan alasan apapun. Akibat dari persepsi tersebut banyak terjadi perceraian yang merugikan pihak perempuan dan anak-anak selaku pihak yang paling banyak menderita akibat putusnya perkawinan.

Apabila kembali dikaji kembali dasar-dasar hukum Al-Quran dan Sunnah yang menempatkan hak talak pada suami, ternyata tidak ada suatu ayat atau hadis yang secara tegas mengungkapkan hal itu. Pemberian hak talak kepada suami adalah berbentuk fikih atau pemahaman dari tekstual ayat dan praktek pada masa Nabi. Namun apabila dicermati lebih jauh, praktek talak pada masa Nabi dan para sabahat pun tidak terlepas dari peran dan fungsi penguasa dalam menentukannya. Seperti campur tangan Nabi SAW yang memerintahkan Ibn Umar untuk kembali kepada isterinya yang dijatuhkan talak disaat haid, marahnya Nabi ketika seorang laki-laki menjatuhkan talak tiga sekaligus, campur tangan Umar ibn al-Khaththab untuk menetapkan talak tiga sekaligus dijatuhkan tiga, tindakan Umar yang memukul punggung seorang laki-laki yang menjatuhkan talak terhadp isterinya secara semena-mena.

Apabila dilihat dari posisi Nabi SAW pada masa itu yang tidak saja sebagai pimpinan agama, tetapi juga pimpinan negara dan hakim. Demikian juga kedudukan Umar ibn al-Khaththab selain sebagai khalifah juga sekaligus sebagai hakim dan mufti tempat masyarakat bertanya masalah hukum. Dengan demikian, peranan penguasa dalam mengatur tentang terjadinya perceraian sangat penting mengingat perceraian akan memberikan dampak negatif yang sangat banyak di belakang hari.

Berdasarkan hal tersebut, maka para ahli hukum Islam di Indonesia berpendapat bahwa hak suami tersebut bukanlah hak mutlak, melainkan sebatas kewenangan yang dapat dilakukan apabila telah memenuhi persyaratan tertentu. Oleh sebab itu, perceraian harus diatur sedemikian rupa agar dilakukan secara proforsional. Berdasarkan hasil kajian yang mendalam terhadap sumber hukum al-Quran dan Sunnah, kemudian mengkaji lebih komprehensif lebih dari 40 kitab klasik dari berbagai mazhab serta melakukan studi banding ke berbagai negara Islam dan negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam di belahan dunia tentang penerapan hukum Islam serta mendengarkan pendapat para tokoh dan ahli hukum Islam di Indonesia akhirnya menghasilkan sebuah ketentuan yang diberi payung hukum berbentuk Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.

Menurut ketentuan Hukum Islam yang berlaku di Indonesia pada saat ini bahwa, perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama, setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 115 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Tahun 1991.

Adapun dasar dari ketentuan tersebut berdasarkan kajian terhadap isi kandungan, makna dan tujuan (maqashid) dari seluruh ayat al-Quran dan hadis-hadis Rasulullah SAW yang berkaitan dengan masalah perceraian, yang intisarinya dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Bahwa menurut ajaran Islam yang bersumber dari ayat al-Quran dan Hadis Nabi SAW., ikatan perkawinan adalah suatu ikatan yang sangat sakral (suci) dan sangat kokoh (mitsaqan ghalizan). Ikatan perkawinan disebut Allah SWT sebagai ikatan yang sangat kuat (mitsaqan ghalizan) sebagaimana tersebut dalam surat An-Nisa’ [4] ayat 21 yang berbunyi:

...وأخذن منكم ميثاقا غليظا (النسآء:21)

Artinya: “...Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat”.(Q.S An-Nisa:21).

Ikatan perkawinan disebut sebagai ikatan yang sangat kuat karena di dalam ikatan perkawinan tersebut tersimpul hak dan kewajiban yang sangat banyak dan mulia, tujuannya untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah (Pasal 2 KHI).

Dalam al-Quran Allah SWT hanya tiga kali menyebutkan kalimat mitsqan ghalizan masing-masing:

- Ketika menyebutkan ikatan perkawinan (surat An-Nisa’[4] ayat 21)

- Ketika menyebutkan perjanjian antara Nabi Musa dengan kaumnya (surat an-Nisa[4] ayat 154)

- Ketika menyebutkan perjanjian yang diikatkan oleh para Nabi untuk menyampaikan ajaran agama kepada umat (surat al-Ahzab[33] ayat 7).

Oleh karena ikatan perkawinan adalah sesuatu yang sangat kuat, maka ikatan perkawinan menurut ajaran Islam tidak mungkin diputuskan melalui perceraian, kecuali dalam kondisi yang tidak dapat dihindarkan (darurat) saja.

b. Bahwa oleh karena perceraian adalah jalan yang boleh ditempuh untuk menyelesaikan kemelut rumah tangga dalam kondisi “darurat” saja, maka perceraian haruslah merupakan jalan (alternatif) terakhir yang dapat ditempuh untuk menyelamatkan suami isteri dan keturunan mereka, di saat perpecahan rumah tangga suami isteri tersebut tidak mungkin lagi dipertahankan. Apabila rumah tangga mereka tetap dipertahankan dalam kondisi yang demikian, besar kemungkinan akan timbul kemudaratan dan kerusakan (mafsadat) yang lebih besar, baik terhadap kedua belah pihak maupun terhadap anak-anak mereka. Sementara kaidah fikih menyatakan:

درء المفاسد أولى من جلب المصالح

Artinya :“Menolak kemudharatan lebih utama daripada mengambil manfaat”.

Apabila kondisi rumah tangga masih dalam keadaan biasa dan belum sampai ke tahap dharurat, maka perceraian sangat dilarang mengingat besarnya dampak atau akibat yang akan diderita oleh kedua belah pihak, terutama oleh anak-anak mereka setelah perceraian.

c. Meskipun perceraian hanya dibolehkan dalam kondisi darurat, namun perceraian merupakan jalan keluar yang sangat dibenci oleh Allah SWT, sesuai dengan Sabda Rasulullah SAW. yang berbunyi:

أبغض الحلال إلى الله الطلاق (رواه أبوداود)

Artinya: “Perbuatan halal yang sangat dimurkai oleh Allah adalah thalaq (perceraian)” (HR. Abu Daud).

Perceraian merupakan jalan keluar yang sangat dibenci Allah SWT karena dapat menimbulkan dampak negatif bagi kehidupan masing-masing suami isteri, apalagi bagi anak-anak mereka.

d. Mengingat perceraian merupakan “jalan terakhir”, maka perceraian tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang, serampangan atau sesuka hati. Perceraian wajib dilakukan secara “baik” yang dalam bahasa al-Quran disebut dengan secara “ma’ruf” , sebagaimana ditegaskan Allah SWT dalam surat Ath-Thalaq ayat 2:

فأمسكوهن بمعروف أو فارقوهن بمعروف وأشهدوا ذوي عدل منكم وأقيموا الشهادة لله (سورة الطلاق: ۲)

Artinya: ….“(apabila kamu ingin bersatu kembali) maka penganglah para isteri itu secara baik, namun apabila kamu ingin bercerai, ceraikanlah para isteri itu secara baik pula”. Persaksikanlah dengan dua orang saksi di antara kamu, dan tegakkanlah kesaksian itu karena Allah…(QS. At-Thalaq:2)

Dalam rangka memenuhi tuntutan Allah SWT dimana perceraian harus dilakukan secara ma’ruf atau ihsan (baik) tersebut, maka perceraian harus diatur pelaksanaanya agar tidak dilakukan secara sewenang-wenang. Apabila pintu perceraian dibuka secara luas, maka suami isteri yang sedang bertengkar dalam rumah tangga akan sangat mudah melakukan perceraian itu, akibatnya rumah tangga akan menjadi kacau. Apabila kehidupan rumah tangga menjadi kacau, dampaknya sudah pasti akan sangat buruk terhadap kehidupan bermasyarakat secara umum, termasuk bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebab, baiknya kehidupan suatu bangsa apabila masyarakatnya baik, baiknya kehidupan masyarakat apabila keluarga-keluarga sudah baik. Sebaliknya jika kehidupan keluarga kacau balau, maka masyarakat juga akan menjadi kacau, halmana pasti tidak dikehendaki oleh ajaran Islam. Dalam konteks inilah, maka secara siyasah syar’iyyah, persoalan talak perlu diatur pelaksanaannya oleh negara.

Apabila direnungkan secara filosofi, bahwa pertengkaran dan perselisihan dalam suatu rumah tangga adalah sesuatu hal yang lumrah dan mungkin terjadi serta bersifat alami. Hal itu sangat mungkin terjadi karena suami dan isteri adalah dua insan yang memang berbeda, baik dari segi latar belakang pendidikan, keluarga, lingkungan sosial, karakter dan sifat masing-masing, maupun perbedaan status sosial dan lain sebagainya. Perbedaan-perbedaan itulah yang secara alami menyebabkan suami isteri memiliki pola pikir berbeda, akibatnya suami isteri akan sering berbeda pandangan dalam menyelesaikan suatu masalah, termasuk dalam hal menempuh “cara” untuk menyelesaikan masalah tersebut. Perbedaan-perbedaan latar belakang kehidupan itu juga sering menimbulkan perbedaan harapan dan cita-cita. Kondisi yang memang sudah tercipta secara alami tersebut kemudian disatukan dalam sebuah ikatan yang kokoh disebut dengan rumah tangga, dalam perbedaan-perbedaan itu tentu saja besar kemungkinan akan menimbulkan pergesekan-pergesekan kepentingan, sehingga berwujud dalam bentuk perselisihan dan pertengkaran.

Apabila masing-masing suami dan isteri memahami hakikat perkawinan tersebut, maka besar kemungkinan kedua suami isteri itu akan saling menerima setiap perbedaan itu, baik berupa kelebihan maupun kelemahan masing-masing secara ikhlas. Karena perbedaan-perbedaan itu tercipta bukanlah atas kehendak masing-masing untuk menciptakannya, melainkan kehendak Allah SWT lah yang paling menentukan tentang siapa orangtua yang melahirkan kita, dimana lingkungan tempat kita tinggal, keluarga dan masyarakat kita sehingga sejak kecil hingga dewasa membentuk sifat dan karakter kita masing-masing.

Perjuangan masing-masing suami isteri dalam menerima segala kelebihan dan kekurangan masing-masing dengan cara yang ikhlas inilah yang menjadikan rumah tangga sebagai salah satu bentuk ibadah yang sangat besar nilainya di sisi Allah SWT.

Meskipun perselisihan dan pertengkaran dalam kehidupan rumah tangga adalah sesuatu hal yang tidak mungkin dihindarkan. Namun tidak berarti semua perselisihan dan pertengkaran dalam rumah tangga itu harus diakhiri dengan jalan perceraian. Hanya perselisihan dan pertengkaran yang sangat memuncak dan besar kemungkinan akan menimbulkan kemudaratan saja yang boleh diselesaikan dengan perceraian dan itupun harus dilakukan secara baik (ma’ruf) agar tidak menimbulkan akibat yang sangat buruk bagi kedua belah pihak, apalagi bagi anak-anak mereka.

Mengingat besarnya dampak negatif yang akan muncul dari suatu perceraian itu, maka masalah “perceraian” menurut pendapat ulama dan pakar hukum Islam untuk masa sekarang ini tidak lagi semata-mata merupakan urusan pribadi seorang suami atau isteri, melainkan telah menjadi urusan pemerintah/negara (publik) untuk mengaturnya.

Pemerintah selaku pihak yang wajib mengayomi dan melindungi warga negaranya mempunyai kewajiban untuk mengatur tertibnya rumah tangga setiap warga negaranya agar terjamin ketertiban kehidupan masyarakat, yang pada gilirannya akan mewujudkan ketertiban hidup berbangsa dan bernegara.

Pemerintah Indonesia selaku “Ulil Amri” yang wajib ditaati setelah kewajiban mentaati Allah dan Rasul-Nya bagi seluruh umat Islam di Indonesia, telah mengeluarkan ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam bahwa perceraian hanya dapat terjadi di depan pengadilan setelah pengadilan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Apabila dicermati dan direnungkan dengan seksama, bahwa ketentuan tentang perceraian yang ditetapkan oleh pemerintah tersebut adalah semata-mata bertujuan untuk menjaga ketertiban rumah tangga dalam masyarakat secara umum. Menjaga ketertiban keluarga berarti menjaga ketertiban hidup masyarakat, menjaga ketertiban hidup masyarakat berarti menjaga ketertiban umum. Menjaga ketertiban umum berarti menjaga kemashlahatan rakyat (manusia) secara umum. Menjaga kemashlahatan manusia menurut Imam al-Ghazali dan pakar hukum Islam lainnya adalah tujuan hakiki dari pensyariatan hukum Islam, yakni memelihara kemashalatan dan menghilangkan kemudharatan dari kehidupan manusia.

Kebijakan yang diambil oleh pemerintah untuk mengatur masalah perceraian dalam kehidupan masyarakat tersebut telah sejalan dengan kaidah hukum yang menyatakan:

تصرف الإمام على الراعيّة منوط بالمصلحة

Artinya: “Kebijakan pemerintah untuk rakyatnya adalah mengacu kepada kemaslahatan”

Oleh karena ketentuan yang ditetapkan pemerintah itu bertujuan untuk kemashlahatan umum, maka ketetapan pemerintah tersebut sangat patut dan wajib didukung oleh semua masyarakat, terutama masyarakat Islam karena telah sejalan dengan maksud dan tujuan hukum Islam itu sendiri. Dari kacamata al-Quran, sepanjang ketentuan yang dibuat pemerintah bertujuan untuk kemashalahatan hidup masyarakat, maka ketentuan tersebut wajib ditaati sebagai perwujudan dari kewajiban mengikuti perintah Allah dan Rasulnya. Hal tersebut secara tegas telah disinyalir Allah SWT dalam Al-Quran Surat an-Nisa’ [3] ayat 59 yang berbunyi:

يا أيها الذين آمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى الله والرسول إن كنتم تؤمنون بالله واليوم الآخر ذلك خير وأحسن تأويلا . (سورة النـسآء: ۵۹)

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan Ulil Amri diantara kamu. Jika kamu berselisih tentang suatu masalah, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul, jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Hal itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.(QS: an-Nisa’[3]:59).

e. Untuk menghindari agar perceraian tidak dijatuhkan secara sewenang-wenang dan sesuka hati, maka pihak yang patut dan layak menilai kondisi “darurat” tersebut bukanlah suami atau isteri yang sedang terlibat pertikaian itu, karena dikhawatirkan mereka akan salah dalam menilai (subjektifivitas), apalagi mereka adalah pihak-pihak yang sedang bertikai.

Suami atau isteri yang sedang bertikai atau berselisih cendrung menilai suatu masalah secara emosional dan kurang pertimbangan. Dalam keadaan bertengkar setiap suami isteri cendrung melihat sisi buruk dari masing-masing pasangannya sehingga mudah untuk terjerumus dalam perceraian. Sementara Rasulullah SAW telah menyatakan dalam sebuah hadis yang artinya: “Perceraian tidak sah apabila dijatuhkan dalam keadaan marah, dendam dan penuh kebencian” (Hadis).

Bahkan, dalam ajaran Islam perceraian tidak boleh dilakukan hanya atas dasar pemufakatan kedua belah pihak suami isteri karena kemufakatan untuk bercerai adalah kemufakatan yang bertentangan dengan kehendak hukum Islam itu sendiri. Oleh karena perceraian adalah sesuatu yang dimurkai Allah SWT, maka permufakatan bercerai adalah permufakatan untuk mencari kemurkaan Allah SWT. Apabila kesepakatan bercerai diberi peluang, maka orang akan mudah melakukan perkawinan dan perceraian atas dasar kesepakatan kedua belah pihak, hal ini tidak ada bedanya dengan nikah mut’ah atau kawin kontrak yang hanya dilakukan untuk waktu dan masa tertentu saja berdasarkan kesepakatan, yang sangat dilarang oleh ajaran Islam.

Oleh sebab itu, pihak yang patut dan layak menilai kondisi rumah tangga apakah sudah sampai ke tahap darurat atau belum, haruslah pihak yang netral (independen), yaitu pihak yang mampu berlaku adil, yang tidak memiliki kepentingan apa-apa terhadap salah satu pihak, baik kepada suami ataupun isteri, pihak ini hanya berpihak kepada kemashlahatan rumah tangga mereka, baik terhadap suami, isteri dan anak-anak mereka.

Dalam hal ini, pemerintah telah menetapkan bahwa pihak yang layak menilai kondisi darurat itu adalah Pengadilan Agama (bagi umat Islam) di Indonesia. Pengadilan Agama secara hukum bertugas dan berwenang menyelesaikan sengketa-sengketa umat Islam termasuk di dalamnya masalah perceraian. Pengadilan Agama (dalam hal ini Hakim) akan memeriksa apakah perceraian tersebut telah beralasan hukum. Penilaian itu wajib berdasarkan alat-alat bukti yang dapat dipertanggungjawabkan di depan persidangan.

Sebelum memeriksa perkara, hakim mempunyai kewajiban mendamaikan kedua belah pihak secara maksimal agar kembali rukun dalam rumah tangga. Kemelut rumah tangga tidak harus diakhiri dengan perceraian, tetapi jalan keluar yang terbaik adalah perdamaian (as-shulhu). Apabila perdamaian tidak mungkin dicapai, barulah hakim akan menceraikan dengan cara-cara yang baik pula.

Perceraian yang dilakukan secara baik termasuk di dalamnya menjaga dan memelihara hak dan kewajiban yang timbul akibat dari perceraian tersebut, di antaranya memelihara hak-hak bekas isteri selama masa iddah, hak mut’ah, kepastian hukum tentang pengasuhan dan pemeliharaan anak-anak akibat dari perceraian orangtuanya, kewajiban terhadap nafkah anak-anak sampai mereka mampu berdiri sendiri, dan hak suami dan isteri terhadap harta bersama yang mereka peroleh selama dalam perkawinan.

Dalam rangkaian sejarah umat Islam, turut campurnya pemerintah dalam mengatur kehidupan masing-masing pribadi masyarakatnya bukanlah sesuatu hal yang baru. Pada masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a, beliau pernah mengambil kebijakan untuk memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat, padahal tidak ada satu ayat atau hadispun yang memerintahkan untuk memerangi orang yang tidak membayar zakat. Kewajiban membayar zakat sebenarnya adalah urusan masing-masing peribadi kepada Allah SWT., namun ketika hal itu bertujuan untuk memelihara kepentingan umum, maka pemerintah dapat mengaturnya agar kemashlatan umum masyarakat dapat terwujud. Demikian pula pada masa Khalifah Umar ibn al-Kkaththab r.a, beliau pernah mengambil kebijakan untuk menetapkan talak tiga yang dijatuhkan suami sekaligus dihitung tiga, padahal pada masa Rasululah SAW dan Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a ditetapkan talak yang diucapkan suami tiga kali sekaligus dihitung jatuh satu kali. Pertimbangan Umar bin al-Khaththab r.a tersebut karena pada saat itu banyak para suami yang mempermain-mainkan talak sehingga talak itu perlu diatur sedemikian rupa. Dalam bentuk lain Umar bin Khaththab r.a pernah juga tidak memberikan zakat kepada para mu’allaf, padahal dalam ayat al-Quran secara jelas ditegaskan bahwa mu’allaf adalah salah satu dari ashnaf yang delapan yang berhak menerima zakat. Kalau dilihat secara tekstual, seolah-olah Umar bin Khaththab r.a telah menyalahi ayat al-Quran, namun Umar bin Khaththab r.a berpendapat bahwa kondisi umat Islam telah berubah dan telah kuat sehingga para mu’allaf tidak perlu lagi dibujuk hatinya dengan diberi zakat. Demikian juga para Imam-imam mazhab semuanya pernah mengubah pendapatnya karena berubahnya situasi dan kondisi masyarakat saat itu. Seperti dalam mazhab Syafi’i dikenal adanya Qaulul Qadim (pendapat terdahulu) dan Qaulul Jadid (pendapat baru) dalam suatu masalah. Perubahan pendapat itu disebabkan berubahnya situasi dan kondisi masyarakat tempat berlakunya hukum.

Oleh sebab itu, perubahan situasi dan kondisi masyarakat dapat menyebabkan terjadinya perubahan hukum fikih, namun ayat-ayat al-Quran dan Hadis-hadis Nabi SAW tidak pernah berubah sampai kapanpun.

Demikian pula halnya dengan masalah perceraian. Ayat-ayat al-Quran dan Hadis-hadis yang berkaitan dengan perceraian tidak akan pernah diubah dan berubah sampai kapanpun, namun teknis pelaksanaannya dapat saja berubah sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat. Kalau pada masa lalu, para pakar hukum Islam berpendapat bahwa hak talak adalah hak mutlak suami yang dapat dijatuhkan kapan, dimana dan dengan cara apapun, maka pendapat tersebut untuk situasi dan kondisi pada saat ini dirasakan kurang tepat karena akan menimbulkan perceraian-perceraian secara sewenang-wenang dan sesuka hati dari pihak suami. Apabila pendapat ini dipakai untuk situasi dan kondisi saat ini, maka pihak wanita (isteri) dan anak-anak akan terzalimi, padahal Islam adalah agama yang menyelamatkan dan agama yang mementingkan keadilan bagi siapapun. Kepentingan suami dan isteri harus dipelihara secara adil dan seimbang, demikian juga kepentingan anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Oleh sebab itu para pakar hukum Islam di Indonesia setelah mempertimbangkan berbagai segi dan mempertimbangkan kokohnya ikatan perkawinan dan tujuan perceraian akhirnya menetapkan bahwa perceraian harus diatur oleh negara agar terlaksana secara ma’ruf (baik). Pengaturan negara dalam amsalah perceraian itu semata-mata bertujuan untuk menyelamatkan kehidupan keluarga dan masyarakat secara umum, halman sejalan dengan tujuan Syari’at Islam.

Rasulullah SAW dalam salah satu sabdanya telah menjamin bahwa setiap hukum yang ditetapkan dengan jalan penggalian dan penelaahan yang dilakukan secara sungguh-sungguh, maka apapun hasilnya akan mendapat ganjaran pahala dari Allah SWT. Apabila hasil usahanya benar, maka ia akan mendapat dua pahala dari Allah SWT, yaitu pahala usaha yang dilakukannya dan kebenaran hasilnya. Sebaliknya jika hasilnya salah, maka ia dapat satu pahala, yaitu ganjaran dari hasil usahanya. Artinya setiap hasil ijtihad tidak ada yang tidak mendapat pahala dari Allah SWT. Oleh sebab itu, hasil ijtihad para ulama Indonesia yang menetapkan bahwa perceraian pada saat ini harus diatur sedemikian rupa, yakni hanya dapat terjadi di depan persidangan pengadilan setelah pengadilan berusaha mendamaikan kedua belah pihak dan tidak berhasil, adalah sesuatu yang patut untuk diikuti oleh masyarakat Islam, karena pendapat itu pada dasarnya bersumber dari ayat-ayat al-Quran dan Hadis Nabi SAW.yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi perkembangan masyarakat saat ini.

Berdasarkan uraian tersebut, maka perceraian suami isteri yang dilakukan di luar pengadilan, dari kaca mata hukum Islam yang berlaku saat ini di Indonesia dipandang tidak sah dan tidak berkekuatan hukum. Perceraian seperti itu tidak dapat dibuktikan secara sah dengan akta cerai. Apabila suami isteri telah berpisah akibat melakukan perceraian di luar pengadilan, maka dari kaca mata hukum Islam yang berlaku saat ini di Indonesia dipandang masih terikat suami isteri.

Sebagaimana telah ditegaskan di atas, bahwa perkawinan adalah ikatan yang sangat kokoh (mitsaqan ghalizan) yang tidak dapat diputuskan kecuali dengan cara-cara yang dibenarkan hukum Islam Islam.

Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 113 disebutkan bahwa perkawinan dapat putus karena: (1) kematian, (2) perceraian, dan (3) atas putusan pengadilan. Yang dimaksud dengan putusnya ikatan perkawinan karena kematian adalah berakirnya ikatan suami isteri disebabkan wafatnya salah seorang dari mereka. Adapun yang dimaksud dengan putusnya perkawinan karena perceraian adalah berakhirnya ikatan perkawinan karena perceraian yang dilangsungkan di pengadilan. Perceraian yang dilaksanakan di pengadilan ini adakalanya berbentuk cerai talak, yaitu perceraian yang dilaksanakan oleh suami di depan sidang pengadilan, atau berbentuk cerai gugat yaitu cerai yang dijatuhkan oleh pengadilan karena adanya gugatan dari pihak isteri. Sedangkan yang dimaksud dengan putusan pengadilan adalah putusnya ikatan perkawinan yang didasarkan atas putusan pengadilan selain cerai talak dan cerai gugat, seperti pembatalan perkawinan (fasakh).

Oleh karena perceraian yang diakui secara hukum adalah yang dilakukan di depan sidang pengadilan, maka perceraian yang dilakukan secara liar atau di luar pengadilan, dinilai tidak memiliki kekuatan hukum. Oleh sebab itu, perceraian yang demikian tidak memiliki pengaruh apa-apa terhadap perkawinan. Antara suami isteri tersebut secara hukum masih terikat dalam sebuah perkawinan, keduanya dapat hidup bersama sebagai suami isteri karena hak dan kewajiban masing-masing masih tetap berjalan sampai adanya putusan pengadilan yang menceraikan mereka.

Memang dalam kitab-kitab fikih pada masa lalu ada pendapat yang menyatakan bahwa perceraian itu merupakan hak suami secara mutlak yang boleh dijatuhkan kapan, dimanapun dan dengan cara apapun dikehendakinya. Pendapat ini berlandaskan kepada ketentuan umum ayat al-Quraan dan hadis Nabi SAW. di antaranya yang berbunyi :

ثلاث جدهن جد وهزلهن جد، النكاح و الطلاق والرجعة.

Artinya : “Tiga perkara yang tidak boleh dipermain-mainkan, yakni nikah, talak dan rujuk” (HR. an-Nasa’i).

Setelah dilakukan pen-takhrij-an (penelitan) terhadap sanad hadis di atas, para pakar hadis menilai bahwa hadis di atas hanya memiliki kualitas paling tinggi hasan gharib (hadis yang dikuatkan oleh hadis yang lain). Bahkan, Ibnu Majjah menilai hadis ini sebagai hadis mungkar. Apabila dilihat dari segi teks (matan) hadis, terlihat bahwa makna yang dikehendaki oleh hadis itu adalah tiga hal yang tidak boleh dipermain-mainkan, yaitu nikah, talak dan rujuk. Sementara selama ini, sebagian ulama dan masyarakat memahami makna hadis itu secara tekstual, yaitu tiga perkara yang apabila dilakukan main-main atau sungguh-sungguh hukumnya adalah sungguh-sungguh, yaitu nikah, talak dan rujuk. Namun anehnya pemahaman masyarakat secara tektual itu dibatasi pada talak saja, tidak untuk nikah dan rujuk. Padahal teks hadis itu secara jelas dan terang menyatakan tiga perbuatan, yaitu nikah, talak dan rujuk tanpa ada perbedaan. Semestinya apabila talak yang dijatuhkan main-main itu dianggap sah, maka nikah secara main-main seharusnya juga dianggap sah, demikian pula rujuk yang dilakukan main-main semestinya juga dianggap sah. Tetapi para ulama menyatakan bahwa nikah dan rujuk itu harus memenuhi rukun dan syarat tertentu yang tidak boleh dilanggar supaya perkawinan menjadi sah. Terlihat bahwa pemahaman terhadap hadis seperti demikian tidak konsisten dan tidak tepat.

Apabila hadis tersebut tetap akan dipakai, maka makna yang paling tepat terhadap hadis itu adalah tiga perkara yang tidak boleh dipermain-mainkan, yaitu nikah, talak dan rujuk, karena ketiga hal tersebut memiliki kedudukan dan fungsi yang sangat penting dalam hidup dan kehidupan manusia.

Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa perceraian harus dilakukan secara ma’ruf atau ihsan, tentang tata cara pelaksanaannya diserahkan kepada manusia untuk memilih dan menentukan tata cara yang sesuai dengan kebutuhan menurut tuntutan perkembangan zaman. Oleh karena hukum Islam di Indonesia menyatakan perceraian hanya dapat terjadi di depan persidangan, maka setiap perceraian yang terjadi di luar pengadilan dinilai tidak sah.

PENUTUP

Perubahan hukum dalam tataran fikih merupakan sebuah kemutlakan agar hukum tersebut dapat diterapkan sesuai dengan perubahan zaman. Sedangkan hukum dalam kategori syariah merupakan hukum yang bersifat tetap dan abadi sepanjang zaman serta tidak terpengaruh oleh situasi dan kondisi apapun. Adanya perubahan hukum menghendaki perubahan paradigma berpikir masyarakat Islam sebagai habitat hukum Islam tersebut, termasuk di bidang hukum perkawinan, khususnya perceraian. Perceraian tidak lagi merupakan hak mutlak suami, namun sudah menjadi bagian dari hak masyarakat umum sehingga perlu diatur pelaksanaannya oleh pemerintah. Tujuan pengaturan perceraian oleh pemerintah tersebut semata-mata untuk terwujudnya kepastian hukum sehingga ketentraman dan kedamaian kehidupan masyarakat dapat diwujudkan. Oleh sebab itu, kebijakan pemerintah yang sangat mulai itu tentu saja sejalan dengan tujuan pensyariatan hukum sehingga wajib dipatuhi sebagai wujud kepatuhan kepada Allah dan RasulNya. Berdasarkan hal itu, maka perceraian yang dijatuhkan di luar pengadilan menurut ketentuan hukum Islam di Indonesia dinilai tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum.

Walhamdulillahirabbail’alamin

Wallahu a’lam bitstsawab



[1] Subhi Mahmasani, Filsafat al-Tasyri’ al-Islamy, alih bahasa: Ahmad Sujono, Filsafat Hukum dalam Islam, (Bandung: al-Ma’arif, 1982), h. 10.

[2]Muhammad Farouq Nabhan, al-Madkhal li Tasyri’ al-Islamy, (Beirut: Dar al-Kalam, 1981), h. 11. Lihat juga: Mahmoud Syaltut, al-Islam Aqidah wa Syari’ah, (Beirut: Dar al-Qalam, 1966), h.12.

[3]Manna’ al-Qathan, al-Tasyri’ wa al-Fiqh al-Islami, (T.tp: Mu’assasah al-Risalah, t.th.), h.14.

[4]Fazlurrahman, Islam, (Chicago: The Universitu of Chicago, 1975), 100-101, Lihat juga Qodoi Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), h.2-20.

[5]Amir Syarifuddin, Pengertian dan Sumber Hukum Islam, (dalam Falsafah Hukum Islam), (Jakarta: Departemen Agama, Bumi Aksara, 1992), h. 13.

[6]Ibid.

[7]Rifyal Ka’bah, Penegakkan Syariat Islam di Indonesia, (Jakarta: Kairul Bayan, 2004), h. 4.

[8]Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h.152-154.

[9]Muhammad Ismail al-Kahlani, Subul al-Salam, (Bandung: Dahlan, t.th.), jil.3, h. 171.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BERANDA