01 Februari 2009

WAKAF DAN PERMASALAHANNYA

A. Pengertian dan Macam-macam Wakaf
1. Pengertian Wakaf
a. Pengertian menurut bahasa
Secara etimologis kata “wakaf” berasal dari bahasa Arab, yaitu kata benda abstrak (mashdar) waqfan, atau kata kerja (fi’il) waqafa-yaqifu yang berarti “ragu-ragu, berhenti, memberhentikan, memahami, mencegah, menahan, menggantikan, memperlihatkan, meletakkan, mengabdi dan tetap berdiri”.[1] Dalam tata bahasa Arab, kata “waqf” tidak dikonotasikan kepada bentuk kata kerja yang terdiri dari tiga huruf yang mempunyai imbuhan (tsulatsi mazid) tetapi hanya dalam bentuk tsulatsi mujarrad (tanpa imbuhan) saja, karena itulah yang lazim digunakan.[2] Kata “wakaf” bagi orang Arab biasanya digunakan untuk objek (isim maf’ul), yaitu sebagai mauquf. Hal yang sama biasanya dalam bahasa Indonesia juga digunakan untuk objek yang diwakafkan.[3] Sinonim dari kata wakafa adalah al-habsu, yang berasal dari kata kerja habasa-yahbisu-habsan, dengan arti menjauhkan orang dari sesuatu yang memenjarakan. Kemudian kata ini berkembang menjadi habbasa yang berarti mewakafkan harta karena Allah.[4]
Pendapat yang sama juga dijumpai pengertian wakaf dari segi etimologi ialah; “Waqf from Arabic term (plural, awqaf), refers to the act of dedicating property to a Muslim foundation and, by extention, also means the endowment thus created. The meaning of Arabic word is “stop”, that is, stop from being treated as ordinary property. The property is the said to be mauquf’.[5] (Wakaf berasal dari bahasa Arab, waqf [jamaknya, awqaf] dengan makna menyerahkan harta milik dengan penuh keikhlasan dan pengabdian, yaitu berupa penyerahan sesuatu sebuah lembaga Islam, dengan menahan benda itu. Sesuatu yang diwakafkan itu disebut mauquf).
Di dalam kamus al-Munjid fi al-Lughah dikemukakan kata-kata waqf yang dirangkai dengan beberapa kata atau kalimat; masing-masing kata atau kalimat itu mempanyai arti berbeda-beda. Salah satunya yang sesuai dengan konteks kajian ini adalah :
وقف الـدار : حبسـها فـي سبيـل اللـه [6]
Mewakafkan tanah berarti rnenahannya pada jalan Allah.
Pengertian yang sama juga diungkapkan oleh al-Sayyid Sabiq sebagai berikut :
الوقف لغة : الحبس يقال، وقف يقف وقفا أو حبـس يحبـس حبسـا [7]
Wakaf secara etimologi berarti menahan (habs) dikatakan waqafa, yaqifu, waqfan artinya habasa, yahbisu, habsan.

Demikian juga, Muhammad Jawad Mughniyah mengemukakan “wakaf” secara etimologi yaitu :
الوقف في اللغة : الحبس و المنع [8]
Wakaf menurut bahasa adalah menahan dan meng halangi.
Terlihat jelas bahwa secara etimologi tidak terdapat perbedaan para ulama dalam memahami makna kata “wakaf”. Pengertian “menghentikan” ini, jika dikaitkan dengan “wakaf” dalam istilah Ilmu Tajwid, ialah tanda berhenti dalam Al-Quran. Begitu pula bila dihubungkan dalam masalah haji, yaitu wuquf, artinya berdiam diri atau bertahan di Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah. Adapun maksud menghentikan, menahan atau wakaf di dalam ibadah yang berkaitan dengan harta menurut hukum Islam adalah ibadah wakaf atau habs. Khusus kata habs atau ahbas biasanya dipergunakan oleh masyarakat di Afrika Utara yang bermazhab Maliki dengan makna wakaf.[9]
Defenisi wakaf secara etimologis atau lughat dengan substansi “menahan” artinya menahan materi harta dan memanfaatkan hasilnya di jalan Allah, atau ada juga yang memahami dengan substansi “menghentikan” yakni menghentikan pengambilan keuntungan oleh si wakif dan diberikan untuk jalan kebaikan sesuai tujuan wakaf. Di samping itu, kata menghentikan dapat pula dipahami dengan menghentikan segala aktifitas tindakan hukum yang pada mulanya diperbolehkan terhadap harta (‘ain/benda) wakaf tersebut seperti menjual, mewariskan menghibahkan, namun setelah dijadikan harta wakaf maka segala bentuk tindakan hukum tersebut terhenti dari si wakif dan hanya ditujukan untuk kepentingan agama semata.
Dalam konteks kajian tesis ini, pengertian etimologi yang digunakan adalah wakaf dalam pengertian “menahan” yang identik dengan kata al-tahbis dan al-tasbil.

b. Pengertian Menurut Istilah
Secara terminologi, pengertian wakaf dapat ditemukan dalam berbagai rumusan yang dikemukakan oleh para ulama fikih. Ulama Hanafiyah mendefiniskan wakaf dengan :
حبس العين على حكم ملك الواقف والتصدق بالمنفعة على جهة الخير[10]
Menahan suatu benda yang merupakan milik pewakaf, kemudian menyumbangkan manfaatnya di jalan kebaikan”.

Mencermati definisi yang dikemukakan oleh ulama Hanafiyah di atas, disyaratkan bahwa harta wakaf itu milik sempurna dari wakif (si pewakaf), kemudian yang diwakafkan itu adalah manfaat yang dihasilkan oleh benda tersebut, sedangkan status kepemilikan harta tetap saja menjadi hak wakif. Dari pengertian wakaf yang dikemukakan ini, ulama Hanafiyah juga secara jelas menegaskan bahwa yang diwakafkan itu hanyalah manfaat yang bisa diperoleh dari harta wakaf tersebut. Sementara harta atau benda wakaf itu sendiri tetap menjadi milik si pewakaf. Dengan kata lain, wakaf itu tidak berarti penyerahan secara total harta wakaf tersebut. Yang ada, hanyalah penyerahan secara terbatas, yaitu sekedar manfaat yang bisa ditimbulkannya.
Al-Sayyid Sabiq dalam kitabnya yang berjudul fiqh al-Sunnah mengemukakan pengertian wakaf secara istilah dengan rumusan yang senada dengan definisi kalangan Hanafiyah di atas, yaitu :
حبس أصل المال و تسبيل الثمرة في سبيل الله [11]
“Menahan asal harta dan mendermakan manfaatnya pada jalan Allah”.

Al-Sayyid Sabiq memakai kata habs dan tasbil untuk istilah wakaf yang bermakna menahan harta dan tasbil al-tsamrah dengan makna mendermakan hasilnya. Oleh sebab itu pula para ulama di zaman Nabi disebut Haabs, Sadaqah dan Tasbil.[12]
Muhammad Jawad al-Mughniyah dalam bukunya, al-Ahwalus-Syakhsiyah menyebutkan bahwa :

الوقف نوع من العطية يقضى بتحبيس الأصل و إطلاق المنفعةومعنى تحبيس الأصل المنع عن الإرث والتصرف في العين الموقوفة بالبيع أو الهبة والرهن أو الإجارة أو الإعارة وما إلى ذ لك، أما التسبيل المنفعة فهو صرفها على جهة التى عينها الواقف من دون عوض. [13]
“Wakaf adalah suatu bentuk pemberian yang dilaksanakan dengan penahanan asal harta dan mendermakan hasilnya. Pengertian menahan asal adalah larangan dari mewariskan dan bertindak hukum pada benda yang diwakafkan dengan jalan menjual, menghibahkan, merungguhkan, menyewakan, meminjamkan dan lain-lain. Adapun pengertian “tasbil al-manfaat” ialah mempergunakan atau menyerahkan harta itu kepada sasaran atau arah yang telah ditentukan oleh si wakif tanpa ada imbalan”.

Muhammad Musthafa Tsalaby dalam al-Ahkam wa al-Washaya wa al-Awqaf juga mengemukakan pendapat para Imam Mazhab. Menurutnya, wakaf dalam rumusan Abu Hanifah adalah penahanan benda atas milik orang yang berwakaf dan mendermakan (mensedeqahkan) manfaatnya untuk tujuan kebaikan pada masa sekarang dan masa yang akan datang”. Dengan pengertian ini, maka suatu harta yang telah diwakafkan tidak terlepas dari pemilikan si wakif bahkan ia boleh menariknya kembali dan boleh menjualnya, karena wakaf itu hukumnya jaiz, tidak wajib dan sama halnya dengan pinjam meminjam (‘ariyah).[14]
Kemudian pengertian wakaf menurut ulama Malikiyah, sebagaimana dijelaskan Muhammad Mustafa Tsalaby ialah “penahanan suatu benda dari bertindak hukum, seperti menjual-belikannya terhadap benda yang dimiliki dan benda itu tetap dalam pemilikan si wakif serta memproduktifkan hasilnya untuk keperluan kebaikan”.[15] Kelihatannya pengertian ini senada dengan pengertian yang dikenal di kalangan ulama mazhab Hanafi.
Sementara itu, ulama Syafi’iyah mengemukakan definisi yang sedikit berbeda dengan definisi yang dikemukakan oleh ulama Hanafiyah di atas, yaitu:
حبس المال يمكن الإنتفاع به مع بقاء عينه بقطع التصرف في رقبته من الواقف وغيره على مصرف مباح موجود.[16]
Berdasarkan definisi ini, terlihat bahwa ulama Syafi’iyah mensyaratkan bahwa wakaf itu harus memenuhi tiga unsur, yaitu benda yang diwakafkan mendatangkan manfaat, modalnya harus tetap ada serta penggunaannya harus jelas atau tidak digunakan terhadap hal-hal yang dilarang oleh agama. Dari definisi yang dikemukakan ini, jelas bahwa ulama Syafi’iyah sangat menekankan masalah manfaat dari benda wakaf itu. Dari sisi lain, ditegaskan pula bahwa eksistensi (‘ain) benda wakaf tersebut harus tetap terjaga. Akan tetapi berbeda dengan pandangan ulama Hanafiyah, ulama Syafi’iyah tidak menjelaskan bahwa kepemilikan benda wakaf itu tetap pada milik si wakif, tetapi kepemilikannya diputus dari si wakif, seperti terlihat dalam praktek pengelolaan harta wakaf di Indonesia, di mana harta wakaf itu telah beralih menjadi milik umat. Buktinya, banyak dari harta wakaf itu telah mendapat pengesahan berupa sertifikat kepemilikan dari pejabat yang berwenang.
Ulama Hanabilah mengemukakan definisi yang lebih sederhana dibandingkan dengan ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah. Menurut mereka wakaf adalah :
تحبيس الأصل وتسبيل المنفعة [17]
“”Menahan pokok awal (modal) dan mendermakan manfaatnya”.
Definisi yang dikemukakan oleh ulama Hanabilah terlihat sangat sederhana. Wakaf menurut mereka adalah mempertahankan benda asal wakaf itu dan mempergunakan manfaat yang mungkin bisa diperoleh darinya. Dengan demikian, unsur pokok wakaf menurut mereka hanyalah dua, yaitu menahan pokok awal dan mengambil manfaat. Pengertian yang mereka kemukakan ini pada dasarnya tidak banyak berbeda dengan pengertian yang dikemukakan ulama Syafi’iyah di atas yang juga mencantumkan dua unsur pokok ini. Namun tidak ada penegasan secara eksplisit dari ulama Hanabilah tentang status hukum kepemilikan benda wakaf, sebagaimana dikemukakan oleh ulama Hanafiyah di atas.
Abu Yusuf dan Muhammad ibn Hasan al-Syaibani, sebagaimana dikutip oleh Abu Zahrah, mengemukakan bahwa wakaf adalah menahan harta yang memungkinkan diambil manfaatnya, tetap bendanya dan diserahkan oleh wakif dalam rangka pendekatan kepada Allah (taqarrub ila Allah).[18] Pengertian ini di samping mensyaratkan bahwa wakaf merupakan barang yang dapat diambil manfaatnya, juga disyaratkan adanya motifasi pendekatan religius, yaitu untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Selain definisi dari kelompok ulama mutaqaddimin di atas ditemukan pula definisi dari ulama mutaakhirin. Di antaranya Abdul Wahab Khalaf merumuskan wakaf dengan menahan sesuatu baik materil maupun maknanya (maknawi). Selain itu, menurutnya, kata waqaf juga sering digunakan untuk objek, maksudnya sesuatu yang ditahan.[19] Pengertian ini menunjukkan bahwa pada wakaf yang ditahan itu ada pula manfaatnya. Sementara itu al-Shanani mensyaratkan bahwa benda yang diwakafkan itu adalah benda yang dapat diambil manfaatnya selamanya dan benda itu tidak mudah habis dan rusak. Di samping itu dia juga mensyaratkan bahwa benda yang diwakafkan itu harus digunakan untuk kepentingan kebaikan. Syarat ini dikemukakannya ketika merumuskan pengertian wakaf, di mana menurut al-Shanani wakaf dalam menahan harta yang dapat diambil manfaatnya selamanya serta bendanya itu tidak cepat habis dan rusak, dan digunakan untuk kebaikan.[20]
Berdasarkan definisi di atas terlihat bahwa para ulama telah sepakat bahwa wakaf mengalami perubahan struktur kepemilikan. Kecuali pendapat yang dikemukan ulama Hanafiyah, jumhur ulama sepakat menyatakan bahwa benda atau harta yang semula milik pribadi, setelah diwakafkan menjadi milik publik (Allah) dan harus tetap dikekalkan (dipertahankan) sebagaimana semula. Di samping masalah kepemilikan ulama juga sepakat bahwa unsur pokok lainnya dari wakaf adalah manfaatnya. Mereka sepakat bahwa benda atau harta yang diwakafkan itu mestilah dapat memberikan manfaat selamanya (tidak sementara) terhadap kemashlahatan umat. Manfaat yang dimaksudkan di sini adalah hasil yang diperoleh dari pengelolaan atau pengolahan harta atau benda wakaf itu. Sementara itu meskipun tidak semua mengemukakan secara eksplisit, tujuan wakaf itu sendiri disepakati untuk kebaikan dan kepentingan agama atau menjadi salah satu bentuk ibadat kepada Allah.
Mencermati beberapa definisi wakaf di atas dapat dipahami beberapa unsur yang menjadi ciri wakaf adalah penahanan terhadap suatu harta atau benda, dapat dimanfaatkan, tidak melakukan tindakan kepada bendanya untuk kepentingan pribadi, dan disalurkan kepada yang dibolehkan oleh syara’.
Kendatipun demikian, dalam hal-hal tertentu masih terdapat perbedaan pendapat. Seperti ulama Hanafiyah lebih menekankan kepada manfaat benda yang diwakafkan. Sedangkan status kepemilikannya tetap menjadi milik wakif. Sementara itu, mazhab Syafi’i lebih menekankan perubahan status hak milik dari wakif kepada yang menerima.
Berbedanya pendapat para ulama fikih dalam merumuskan definisi wakaf disebabkan oleh berbeda penekanannya. Ada yang menekankan status kepemilikan harta wakaf itu, ada pula yang justru lebih mementingkan manfaat yang bia diperoleh dari harta tersebut serta ada pula yang juga menekankan secara spesifik pentingnya penggunaannya dalam rangka pendekatan diri kepada Allah. Kendatipun demikian, dapat pula dikemukaan bahwa semua ulama sepakat bahwa harta wakaf itu mestilah dipergunakan untuk kepentingan kemashalahatan umat, bukan untuk kepentingan individual.
Memperhatikan beberapa pendapat ulama di atas, maka menurut penulis, dalam hal status pemilikan harta wakaf itu, pendapat Syafi’iyah dan Hanabilah nampaknya lebih sesuai dengan filosofi dasar wakaf yang mementingkan kemashlahatan umum. Sebagaimana telah dijelaskan, sebelumnya menurut kedua mazhab ini, salah satu implikasi wakaf ialah terjadinya perubahan status pemilikan benda dari milik pribadi menjadi milik publik dan digunakan untuk kepentingan umum (agama) tanpa adanya batasan waktu tertentu. Hal ini didasari atas praktek yang dilakukan oleh Umar ibn al-Khaththab ketika mewakafkan tanah di Khaibar dan tidak boleh lagi diwariskan atau dihibahkan.[21] Ini adalah konsekuensi logis dari perubahan status dari milik peribadi menjadi milik publik. Penegasan perubahan status kepemilikan ini, yaitu dari individu menjadi publik (umat) sangat sejalan dengan perkembangan umat Islam dewasa ini. Umat Islam akan dapat membangun suatu kerjasama dalam rangka melakukan kegiatan roduktif untuk mencapai tujuan bersama, yaitu kemashlahatan umat dalam bentuk peningkatan ekonomi masyarakat Islam yang masih menghadapi berbagai tantangan ketinggalan dibandingkan komunitas lain bangsa Indonesia.
Selain defenisi yang terdapat dalam fikih klasik, khusus di negara Indonesia terdapat rumusan wakaf, sebagaimana terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977, wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam”.[22]
Sementara dalam perkembangan terakhir di Indonesia, wakaf telah diatur pula dalam Kompilasi Hukum Islam. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI),[23] wakaf tidak lagi dikhususkan pada tanah milik, tetapi dirumuskan secara lebih luas, di mana wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah dan keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.
Kelihatannya antara batasan yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 dan Kompilasi Hukum Islam terdapat dua perbedaan penting, yaitu: Pertama, dalam Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977, wakaf dikhususkan tanah milik sedangkan di dalam Kompilasi Hukum Islam, wakaf dirumuskan lebih bersifat umum, tidak mengkhususkan terhadap benda tertentu saja, tetapi seluruh benda yang bermanfaat dan bersifat tahan lama serta melembagakannya buat selama-lamanya. Kedua, terdapat perbedaan redaksional, namun Kompilasi Hukum Islam merupakan hasil revisi terhadap apa yang dirumuskan oleh Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 pada waktu lalu.
Memperhatikan batasan wakaf yang telah dirumuskan oleh ulama-ulama fiqh, pada prinsipnya tidak terjadi perbedaan yang prinsip, hanya saja berbeda dalam menetapkan unsur-unsur yang harus dipenuhi. Perbedaan yang terjadi adalah sekitar, apakah harta yang diwakafkan itu masih menjadi hak milik si wakif atau terlepas kepada yang menerima? Tetapi, sebagaimana yang telah dirumuskan ulama di Indonesia, lebih memilih pendapat yang menyatakan bahwa harta yang telah diwakafkan itu menjadi lepas dari pemilikan si wakif dan menjadi milik Allah SWT. atau milik seluruh umat Islam.

2. Macam-macam Wakaf
Secara umum wakaf dapat dibagi kepada dua kategori yaitu wakaf keluarga (wakaf ahli) yang disebut juga wakaf khusus dan wakaf khairi atau wakaf umum. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh para ahli fikih sebagai berikut:
Muhammad Jawad Mughniyah, menjelaskan pendapat ulama mazhab Imamiyah, yakni:
قسم الامامية الوقف إلى نوعين ... الأول الوقف الخاص وهو ماكان ملكا للموقوف عليهم اى الذين يستحقون استمارة والإنتفاع به ومنه الوقف الظهرى والوقف على العلمآء أو الفقرآء. والثانى: الوقف العام وهو ما أريد منه إنتفاع الناس . كل الناس لا فئة خاصة ولا صنف معين. [24]
Imamiyah membagi wakaf kepada dua macam yang pertama wakaf khusus yaitu suatu harta yang diperuntukkan sebagai. milik bagi pihak yang menerima wakaf. Artinya orang-orang yang berhak mengambil buahnya dengan hasilnya. Dan di antaranya wakaf untuk keluarga, ulama atau fuqaha. Kedua wakaf kahiri yaitu wakaf terhadap suatu harta yang dapat diambil manfaatnya oleh manusia secara umum bukan untuk golongan tersendiri dan bagian tertentu.

Mengenai bentuk-bentuk wakaf, al-Sayyid Sabiq menyatakan :
والوقف أحيانا يكون الوقف على الإحفاد أو الأقارب ومن بعدهم إلى الفقرآء ويسمى هذا بوقف الأهلى أو الظهرى و أحيانا يكون الوقف على أبواب الخير ابتدآء ويسمى بوقف الخير. [25]
Wakaf itu kadangkala untuk anak cucu kaum kerabat, kemudian untuk orang yang sesudah mereka hingga fuqaha dan ini dinamakan dengan wakaf ahli atau zurry. Dan kadangkala wakaf yang diperuntukan bagi kebaikan semata-mata dan ini dinamakan dengan wakaf khairi.

Berdasarkan keterangan di atas dapat dipahami bahwa wakaf itu dibagi ke dalam dua kategori yaitu wakaf khairi atau untuk kepentingan umum dan wakaf ahli yakni wakaf yang diperuntukan untuk orang-orang tertentu.
Untuk lebih jelasnya, berikut akan diuraikan kedua macam bentuk wakaf tersebut secara terperinci.
1. Wakaf Ahli
Wakaf ahli atau wakaf keluarga merupakan wakaf yang dipergunakan khusus untuk orang-orang tertentu, seseorang atau lebih, keluarga di wakif atau bukan. Karena itu, wakaf ini juga disebut sebagai wakaf khusus.
Salah satu contoh dari wakaf ahli yang dilaksanakan pada zaman Rasulullah adalah wakaf yang dilakukan oleh Abu Thalhah, sesuai dengan hadis dari Anas r.a yang berbunyi:
عن أنس رضى الله عنه قال: فلما أنزلت هذه الآية لن تنالوا البر حتى تنفقوا مما تحبون قام أبو طلحة إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال يا رسول الله إن الله تبارك وتعالى يقول لن تنالوا البر حتى تنفقوا مما تحبون وإن أحب أموالي إلي بيرحاء وإنها صدقة لله أرجو برها وذخرها عند الله فضعها يا رسول الله حيث أراك الله قال فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم بخ ذلك مال رابح ذلك مال رابح وقد سمعت ما قلت وإني أرى أن تجعلها في الأقربين فقال أبو طلحة أفعل يا رسول الله فقسمها أبو طلحة في أقاربه وبني عمه .(رواه البخارى)[26]
(Hadis diriwayatkan) dari Anas dia berkata: Tatkala diturunkan ayat “Kamu sekali-kali kamu tidak akan sampai kepada kebaktian yang sempurna hingga kamu menafkahkan sebagaian harta yang paling kamu cintai”, maka Abu Thalhah mendatangi Rasulullah dan berkata: “Ya Rasulullah bahwa Allah berfirrnan: Kamu sekali-kali kamu tidak akan sampai kepada kebaktian yang sempurna hingga kamu menafkahkan sebagaian harta yang paling kamu cintai” Sedangkan harta yang paling aku cintai adalah Bairuha dan akan saya sedekahkan karena Allah, yang saya harap kebaktiannya dan simpanan pahala disisiNya, maka tentulah sedekah itu sebagai mana anda sukai ya Raaulullah. Lantas Rasulullah menjawab: “Boleh”(bagus sekali bukan main) itulah harta yang paling menguntungkan. Aku telah mendengar apa yang telah anda katakan (tentang Bairuha itu). Menurut pendapatku, agar engkau menjadikan sebagai sedekah bagi kaum kerabat, Aba Thalah berkata: “Aku kerjakan ya Rasulullah”. Lalu Abu Thalhah membagi-bagikannya kepada kerabatnya dan anak pamannya. (H.R. al-Bukhari)

Jadi wakaf ahli adalah wakaf yang sah dan telah dilaksanakan oleh kaum muslimin yang berhak mengambil wakaf ahli adalah orang-orang yang tersebut dalam shigat wakaf. Persoalan yang mungkin timbul di kemudian hari pada wakaf ini adalah apabila orang tersebut dalam shighat wakaf itu telah meninggal dunia atau tidak berketurunan, jika dinyatakan bahwa keturunannya berhak mengambil manfaat wakaf itu, sebagaimana kedudukkan harta wakaf itu.
Bila terjadi keadaan demikian, dapat dikembalikan kepada syarat wakaf itu sendiri yakni wakaf itu tidak boleh dibatasi dengan waktu tertentu. Dengan demikian, meskipun penerima wakaf telah meninggal dunia atau anak keturunannya tidak ada pula namun harta tersebut tetap berkedudukkan sebagai harta wakaf; Dan berpindah menjadi wakaf untuk kepentingan umum.
Sekalipun wakaf ahli dibolehkan dalam Is1am, tetapi negara-negara Islam, seperti Mesir, Syiria, dan negara-negara lainnya mengalami kesulitan untuk melaksanakan wakaf ahli ini sehingga negara tersebut mengadakan peninjauan kembali yang hasilnya dipertimbangkan lebih baik lembaga wakaf ahli itu dihapuskan. Misalnya Mesir menghapuskan lembaga itu dengan Undang-Undang No. 180 Tahun 1952. Sebelum itu Syiria juga telah menghapusnya nya.[27]
2. Wakaf Khairi
Yang dimaksud dengan wakaf khairi atau umum adalah wakaf yang diperuntukkan bagi kepentingan atau kemaslahatan umum tidak dikhususkan untuk orang-orang tertentu. Wakaf khairi ini pun sudah diamalkan oleh kaum muslimin ketika Rasulullah SAW hidup. Hal ini dapat diketahui dari hadis Annas yang berbunyi:
عن أنس بن مالك قال قدم النبي صلى الله عليه وسلم المدينة ... وأمر ببناء المسجد فأرسل إلى ملإ من بني النجار فقال يا بني النجار ثامنوني بحائطكم هذا قالوا لا والله لا نطلب ثمنه إلا إلى الله .(رواه البخارى) [28]
Dari Annas r.a dia berkata: “Ketika Rasulullah SAW. datang ke Madinah dan memerintahkan untu.k membangun mesjid, beliau berkata: ‘wahai Bani Najar tentukanlah harga kebunmu ini. Mereka berkata: Demi Allah kami tidak akan meminta harganya kecuali kepada Allah SWT. (H.R. al-Bukhari).

Wakaf jenis ini jelas sifatnya sebagai institusi keagamaan dan lembaga sosial dalam bentuk masjid, pesantren, asrama, rumah sakit, rumah yatim piatu, tanah perkuburan dan sebagainya.
Wakaf khairi. atau wakaf umum inilah yang paling sesuai dengan ajaran Islam dan yang paling dianjurkan kepada orang-orang yang punya harta untuk melaksanakannya guna memperoleh pahala secara terus menerus mengalir bagi orang yang bersangkutan kendati pun ia telah meninggal dunia, selama harta itu masih dapat diambil manfaatnya.
Wakaf khairi jelas merupakan wakaf yang benar-benar dapat dinikmati manfaatnya oleh masyarakat dan merupakan salah satu sarana penyelenggaraan kesejahteraan masyarakat baik dalam bidang keagamaan maupun dalam bidang ekonomi, budaya dan pendidikan.

B. Dasar Hukum Pensyari’atan Wakaf
Wakaf disyari'atkan dalam Islam. Allah sangat menganjurkan umat Islam untuk berwakaf dan menjadikannya sebagai "qurbah", yaitu suatu bentuk perbuatan yang dapat mendekatkan diri pelakunya kepada Allah. Dasar utama pensyariatan wakaf adalah nas-nas Al-Qur’an dan al-Hadis (Sunnah), yang merupakan sumber utama hukum Islam. Pemahaman terhadap kedua sumber hukum Islam tersebut lahirlah beberapa ijtihad para ulama tentang wakaf. Kendatipun tidak ditemukan nas al-Quran dan Sunnah yang secara spesifik mempergunakan kata-kata “wakaf”, namun dalam pemahaman para ulama ditemukan kesepakatan bahwa wakaf telah tercakup dalam ketentuan nas yang bersifat umum tersebut. Di samping itu, berdasarkan interpretasi para ulama diketahui bahwa wakaf merupakan salah satu bentuk amal shaleh yang memiliki kekhususan dari amal shaleh lainnya seperti sadakah, infak, hibah, hadiah, wasiat dan sebagainya.
Adapun dasar hukum pensyari'atan wakaf itu, sebagai berikut :
1. Dasar hukum wakaf dari nas Al-Qur’an
Sebagaimana yang telah ditegaskan di atas, sesungguhnya
dalam Al-Qur’an tidak ditemukan nas yang secara eksplisit dan tegas menganjurkan berwakaf dengan mempergunakan kata-kata “wakaf”. Dalam Al-Qur’an hanya terdapat nas yang berbentuk umum dan kemudian oleh para ulama ditetapkan sebagai dasar hukum pensyariatan wakaf. Di dalam ayat-ayat tersebut terdapat perintah untuk menafkahkan sebagian harta yang dimiliki, termasuk di dalamnya dengan berwakaf. Di antara ayat-ayat tersebut adalah surat Al-Baqarah ayat 215 yang berbunyi:
يسئلونك ما ذاينفقون، قل ما أنفقتم من خير فللوالدين والأقربين واليتمى والمساكين وابن السبيل، وما تفعلوامن خير فإن الله به عليم.( البقرة: 215)
“Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: “Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan”.Dan apa saja kebajikan yang kamu buat, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui”. (QS: al-Baqarah: 215).

Menurut riwayat Ibnu Jarir dari Ibnu Juraij, sebagaimana dikutip oleh al-Suyuthi, asbab al-nuzul ayat 215 di atas adalah adanya pertanyaan kaum muslimin kepada Rasulullah SAW.: ”Di mana kami tabungkan (infakkan) harta kami ya Rasulullah?” Sebagai jawabnya, turun ayat tersebut di atas.[29] Menurut riwayat Ibnu Munzir dari Abi Hayyan, Umar ibn Jumu’ bertanya kepada Nabi SAW.: “Apa yang mesti kami infakkan dan kepada siapa di berikan?”, maka turunlah ayat di atas untuk menjawab pertanyatan tersebut.[30] Karena ayat di atas diungkapan dalam bentuk umum, maka maknanya mencakup anjuran untuk berwakaf kepada pihak-pihak keluarga (karib kerabat). Wakaf seperti ini oleh para ulama disebut dengan istilah wakaf ahli (khas). Sedangkan apabila wakaf diberikan selain untuk keluarga disebut wakaf khairy (‘am) yakni wakaf yang ditujukan untuk kepentingan umum, seperti yang disebut dalam ayat di atas, yakni buat orang miskin, anak yatim dan fi sabilillah.
Allah menyebutkan kata “anfiqu” dalam ayat di atas, untuk berbagai bentuk pengeluaran harta yang dimiliki dengan tujuan fi sabilillah (di jalan Allah). Dalam ayat lain juga disebutkan dengan kata anfiqu, yaitu anjuran membelanjakan harta yang dimiliki sebelum datang hari kiamat atau tiba saat-saat yang menentukan, di mana umat manusia dituntut amal kebajikannya. Sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Baqarah 254 yang berbunyi:

يآيها الذين أمنوا أنفقوا ممارزقناكم من قبل أن يأتى يوم لا بيع فيه ولا خلة ولاشفاعة والكافرون هم الظالمون.( البقرة: 254)
”Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah dan belanjakanlah sebagian rezki yang telah kami berikan kepadamu sebelum datang suatu hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi persahabatan yang akrab, dan tidak ada lagi syafaat. Dan orang-orang kafir itulah yang zhalim”.

Kata yang sama (yunfiqu), dijumpai pula dalam surat al-Baqarah ayat 261, di mana Allah mengumpamakan orang yang mau menafkahkan hartanya, pada mulanya hanya satu butir, lalu akan bercabang masing-masing menghasilkan tujuh tangkai, dan dari padanya menghasilkan pula seratus biji. Inilah contoh yang diberikan Allah, sebagaimana ayat berikut ini:
مثل الذين ينفقون أموالهم فى سبيل الله كمثل حبة أنبتت سبع سنابل فى كل سنبلة ماءة حبة، والله يضاعف لمن يشآء والله واسع عليم. (البقرة:261)
“Perumpamaan (nafkah yang di berikan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjarkan) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas karuniaNya lagi Maha mengetahui”.

Ini merupakan perumpamaan kemurahan Allah dalam melipatgandakan pahala bagi hambaNya yang ikut membiayai kepentingan agama Allah dan perjuangan untuk menegakkan agama Allah; bahwa Allah akan melipatgandakan pahalanya sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus kali lipat.
Makna "sabilillah" dalam ayat di atas adalah semua amal yang bertujuan untuk taat kepada Allah. Jihad (berjuang) untuk menegakkan agama Allah dapat dilakukan dengan bermacam-macam jalan seperti dengan berdakwah atau cara lainnya.
Diriwayatkan bahwa Ibn Umar r.a berkata; “Ketika turun ayat 261 ini, Rasulullah SAW. berdoa : “Ya Tuhan tambahlah untuk umatku,” maka turunlah ayat 264: “Man dzal ladzii yuqridhu Allaha qardhan hasanan fa yudhaaifahu lahu adh’aafan katsirah” (Siapa memberi hutang kepada Allah, maka Allah akan membayar kepadanya berlipat ganda banyaknya). Maka Nabi SAW. berdoa; “ Ya Tuhanku tambahlah untuk umatku.” Maka Allah menurunkan ayat: Innama yuwaffas shaabirun ajrahum bighairi hisaab. (sesungguhnya orang yang sabar akan di beri pahala tanpa hitungan hisab).(HR: Ibn Abi Hatim, Ibn Mardawaih, Ibn Hibban ).
Lanjutan dari ayat 261 di atas, ayat berikutnya menjelaskan tindakan yang harus dilakukan setelah menafkahkan harta yang dimiliki itu dengan tidak menyebut-nyebutnya atau tidak menggembor-gemborkan (diceritakan terlalu berlebihan) karena itu mengakibatkan tindakan riya. Allah menjelaskan dalam ayat 262 berikut ini:
الذين ينفقون أموالهم فى سبيل الله ثم لا يتبعون مآأنفقوا مناولا أذى، لهم أجرهم عندربهم ولا خوف عليهم ولا هم يحزنون.(البقرة: 262)
“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkan itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka ini akan memperoleh pahala di sisi Allah. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula bersedih hati.”

Pada ayat 265 dalam surat yang sama, Allah menyebutkan perumpamaan orang yang menafkahkan sebagian hartanya kepada jalan Allah seperti sebidang kebun. Kebun di sini bermakna kekayaan yang akan dipetik di akhirat kelak. Ayat tersebut berbunyi sebagai berikut:
ومثل الذين ينفقون أموالهم ابتغآء مرضات الله وتثبيتامن أنفسهم كمثل جنة بربوة أصابها وابل فأتت أكلها ضعفين فإن لم يصبها وابل فطل، والله بما تعملون بصير.(البقرة: 265)
“Perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disirami oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Allah maha melihat apa yang kamu perbuat.”

Selanjutnya dalam al-Baqarah ayat 267 ditegaskan:
يآايها الذين امنوا انفقوا من طيبات ما كسبتم ... (البقرة:267)
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah di jalan Allah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik.

Ibn Katsir menafsirkan ayat tersebut sebagi berikut :
يأمر الله تعالى عباده المؤمنين بالإنفاق والمراد به الصدقة ههنا، قال ابن عباس من طيبات ما رزقهم من الأموال التى اكتسبوها ... أمرهم بالإنفاق من أطيب المال وأجوده وأنفسه ونهاكم عن التصدق برذالة المال ودنيئة وهو خبيثه فإن الله طيب لا يقبل إلا الطيب.[31]
Allah memerintahkan hamba-hambaNya yang mukmin untuk berinfak, maksudnya bersedekah. Berkata Ibnu Abbas: ”Mensedekahkan segala yang telah diberikan Allah kepada mereka dari apa yang mereka usahakan…., Allah memerintahkan untuk menginfakkan hartanya yang paling baik dan bagus dan melarang mereka untuk mensedekahkan harta yang jelek dan rendah yaitu harta yang keji. Sesungguhnya Allah itu baik dan tidak akan menerima kecuali yang baik pula.

Selanjutnya dalam surat Ali Imran ayat 92 Allah SWT menyatakan :
لن تنال البر حتى تنفقوا مما تحبون، وما تنفقوا من شيئ فإن الله به عليم.(سورة آل عمران: 92)
Kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada kebajikan yang sempurna, sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, sesungguhnya Allah SWT Maha Mengetahui. (Ali Imran: 92).

Ayat-ayat di atas mengungkapkan anjuran bagi umat Islam untuk memberikan (menafkahkan) sebagian hartanya demi tujuan kebaikan serta mengharap ridha Allah SWT. Rezki yang dikaruniakan Allah SWT kepada manusia yang beriman (Islam) sebagiannya harus dikeluarkan atau dinafkahkan untuk orang lain dan kepentingan umum lainnya. Adakalanya menafkahkan harta itu wajib bagi seseorang bila telah mencapai (memenuhi) jumlah dan syarat-syarat tertentu, hal ini dinamakan zakat. Tetapi ada pula hukum menafkahkan harta itu yang sunat (tathawwu’), namun juga dengan persyaratan tertentu. Salah satu bentuk dari menafkahkan harta yang hukumnya sunat tersebut adalah wakaf.
2. Wakaf dalam Sunnah Rasulullah SAW.
Sebagaimana yang telah dijelaskan, bahwa dalam nas-nas Sunnah pun tidak ditemukan secara spesifik dan eksplisit tuntutan tentang berwakaf dengan menggunakan kata "wakaf". Yang ada hanyalah hadis-hadis yang berbentuk umum tentang anjuran dan pentingnya mewakafkan harta untuk kemashlahatan umat.
Hadis-hadis tersebut di antaranya adalah sebagai berikut:
a. Riwayat Abi Hurairah:
حدثنا يحيى بن أيوب وقتيبة يعني ابن سعيد وابن حجر قالوا حدثنا إسمعيل هو ابن جعفر عن العلاء عن أبيه عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال إذا مات الإنسان انقطع عنه عمله إلا من ثلاثة إلا من صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح .(رواه مسلم)[32]
Menceritakan kepada kami Yahya ibn Ayyub dan Qutaibah Yu’ni ibn Sa’id dan Ibn Hajar, mereka berkata, telah menceritakan kepada kami Isma’il, yakni Ibnu Ja’far dari Ala’I dari bapaknya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Apabila manusia meninggal dunia, maka terputuslah (pahala) amal perbuatannya, kecuali tiga hal, yaitu: sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat atau anak shaleh”.(H.R Muslim).

b. Hadis Riwayat Ibnu Umar:
حدثنا قتيبة بن سعيد حدثنا محمد بن عبد الله الأنصاري حدثنا ابن عون قال أنبأني نافع عن ابن عمر رضي الله عنهما أن عمر بن الخطاب أصاب أرضا بخيبر فأتى النبي صلى الله عليه وسلم يستأمره فيها فقال يا رسول الله إني أصبت أرضا بخيبر لم أصب مالا قط أنفس عندي منه فما تأمر به قال إن شئت حبست أصلها وتصدقت بها قال فتصدق بها عمر أنه لا يباع ولا يوهب ولا يورث وتصدق بها في الفقراء وفي القربى وفي الرقاب وفي سبيل الله وابن السبيل والضيف لا جناح على من وليها أن يأكل منها بالمعروف ويطعم غير متمول. قال: فحدثت به ابن سرين: غير متماثل مالا .(رواه البخارى) [33]
“Menceritakan kepada kami Qutaibah ibn Said, menceritakan kepada kami Muhammad ibn Abdullah al-Anshari, menceritakan kepada kami Ibnu Aun, bahwa dia berkata, Nafi’ telah menceritakan kepadaku ibn Umar r.a bahwa: “Umar ibn al-Khaththab memperoleh tanah di Khaibar, lalu ia datang kepada Nabi SAW. untuk minta petunjuk mengenai tanah tersebut. Ia berkata: “Wahai Rasulullah SAW! Saya memperoleh lahan di Khaibar, yang belum pernah saya peroleh harta yang lebih baik bagiku melebihi harta tersebut; apa perintah engkau kepadaku mengenainya? Nabi SAW. menjawab: “Jika mau, kamu tahan pokoknya dan kamu sedekahkan hasilnya”. Ibnu Umar berkata: “Maka Umar menyedekahkan tanah tersebut (dengan mensyaratkan) bahwa tanah itu tidak dijual, tidak dihibahkan, dan tidak diwariskan. Ia menyedekahkan (hasilnya) kepada fuqara’, kerabat, riqab (hamba sahaya, orang tertindas), sabilillah, ibn sabil, dan tamu. Tidak berdosa atas orang yang mengelolanya untuk memakan dari hasil tanah itu secara ma’ruf (wajar) dan memberi makan (kepada yang lain) tanpa menjadikannya sebagai harta hak milik. Rawi berkata: dalam hadis Ibnu Sirrin dikatakan: “Tanpa menyimpannya sebagai harta hak milik”. (H.R al-Bukhari).

c. Hadis riwayat Ibnu Umar:
أخبرنا سعيد بن عبد الرحمن قال حدثنا سفيان بن عيينة عن عبيد الله بن عمر عن نافع عن ابن عمر قال قال عمر للنبي صلى الله عليه وسلم إن المائة سهم التي لي بخيبر لم أصب مالا قط أعجب إلي منها قد أردت أن أتصدق بها فقال النبي صلى الله عليه وسلم احبس أصلها وسبل ثمرتها.(رواه النسائى)[34]
“Menceritakan kepada kami Said ibn “abd al-Rahman, ia berkata, telah menceritakan kepada kami Sofyan ibn Uyainah dari Abdullah ibn Umar dari Nafi’ dari Ibn Umar r.a ia berkata, Umar RA berkata kepada Rasulullah SAW., “Bahwa seratus saham (tanah, kebun) telah saya dapatkan di Khaibar, belum pernah saya mendapatkan harta yang lebih saya kagumi melebihi tanah itu, saya bermaksud menyedekahkannya.”Nabi SAW. berkata: “Tahanlah pokoknya dan sedekahkanlah buahnya pada sabililah.” (H.R al-Nasa’i).

d. Hadis riwayat Anas :
حدثنا أبو معمر حدثنا عبد الوارث عن أبي التياح عن أنس رضي
الله عنه قدم النبي صلى الله عليه وسلم المدينة وأمر ببناء المسجد فقال يا بني النجار ثامنوني فقالوا لا نطلب ثمنه إلا إلى الله. (رواه البخارى)[35]
“Menceritakan kepada kami Abu Ma’mar, menceritakan kepada kami Abu al-Warits, dari Abi al-Tayahi, dari Annas r.a berkata ia, pada waktu Rasulullah SAW memasuki kota Madinah dan menyuruh membangun masjid, berkata ia kepada suatu kaum dari Bani Najjar, "Wahai Bani najjar juallah kepadaku kebun kalian ini". Mereka menjawab, demi Allah kami tidak meminta harganya, kecuali kepada Allah Ta'ala.” (H.R: al-Bukhari).

Hadis-hadis yang dikutipkan di atas secara umum menjelaskan tentang dorongan untuk menafkahkan harta demi kemashlahatan umat. Kandungan ini sangat sejalan dengan makna ayat-ayat al-Quran yang telah dikutip sebelumnya. Secara agak spesifik, hadis yang pertama menjelaskan pentingnya menafkahkan harta itu dan kaitannya dengan imbalan pahala yang secara terus menerus akan diterima oleh orang yang menafkahkannya, sekalipun dia telah meninggal dunia. Hadis berikutnya secara teknis sangat dekat dengan konsep wakaf. Menjawab pertanyaan Umar ibn al-Khaththab, Nabi memberikan jawaban agar tanah itu disedekahkan, namun dengan mempertahankan pokoknya hasilnya dimanfaatkan bagi siapa yang membutuhkan.
Melihat kandungan hadis-hadis tersebut, boleh dikatakan tidak ada ungkapan spesifik dan eksplisit tentang wakaf. Hal yang sama juga terjadi pada ayat-ayat al-Quran. Akan tetapi, sebagaimana pada ayat-ayat al-Quran yang telah dikutipkan di atas, hadis ini secara jelas mengungkapkan hal-hal prinsip dalam wakaf, yaitu dorongan menafkahkan harta dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dalam bentuk yang agak rinci, hadis ibn Umar lebih jelas mengemukakan istilah wakaf. Misalnya adanya lahan (harta), perlunya mempertahankan asalnya, memberikan hasilnya bagi umat yang membutuhkan dan tidak mengganggu gugat (misalnya dengan menjual atau mewariskan) harta tersebut. Semua ini adalah hal-hal yang sangat prinsip dan mendasar dalam wakaf. Dengan demikian, kendati tidak ada ungkapan terminologis yang spesifik dan eksplisit, sebagaimana zakat misalnya, bukan berarti wakaf tidak memiliki landasan dalam al-Quran dan hadis. Dengan kata lain, bahwa ayat-ayat dan hadis-hadis di atas dapat pula dijadikan dasar disyari’atkannya wakaf, seperti yang telah dilakukan oleh para ulama fikih dari masa ke masa.

C. Rukun dan Syarat Wakaf
Meskipun para Imam Mujtahid berbeda pendapat dalam memberikan pandangan terhadap institusi wakaf, namun semuanya sependapat bahwa untuk membentuk lembaga wakaf diperlukan rukun[36] dan syarat-syarat wakaf.
Khusus mengenai jumlah rukun tersebut terdapat perbedaan pendapat antara mazhab Hanafi dengan jumhur fuqaha. Menurut ulama mazhab Hanafi, sebagaimana dikutip oleh M. Anwar Ibrahim, rukun wakaf itu hanya satu, yakni aqad yang berupa ‘ijab (pernyataan dari wakif). Sedangkan qabul (pernyataan menerima wakaf) tidak termasuk rukun bagi ulama mazhab Hanafi disebabkan aqad tidak bersifat mengikat. Apabila seseorang mengatakan; “saya wakafkan harta ini kepada anda”, maka aqad itu sah dengan sendirinya dan orang yang diberi wakaf berhak atas harta itu.[37]
Sedangkan menurut jumhur ulama dari mazhab al-Syafi’i, Maliki dan Hanbali, rukun wakaf itu ada empat macam, yaitu : 1) adanya waqif (orang yang berwakaf), 2) mauquf ‘alaih (orang yang menerima wakaf), 3) mauquf (benda yang diwakafkan), dan 4) sighat.[38] Pendapat yang sama dengan jumhur ditemui juga dalam pendapat Jalaluddin al-Mahally, al-Ghazali dan Muhammad Musthafa Tsalaby.
Kendatipun terjadi perbedaan pendapat namun, menurut Anwar Ibrahim, pada dasarnya diantara mereka hanya berbeda dalam redaksi saja, karena semua mereka sepakat memandang semuanya mesti terwujud dalam setiap wakaf. Apabila salah satunya tidak terwujud, seperti wakif tidak ada maka tidak akan ada yang yang dinamakan wakaf.[39]
Masing-masing dari rukun itu harus memenuhi persyaratan tertentu pula. Syarat-syarat wakaf yang dimaksud adalah syarat-syarat yang harus terpenuhi dalam rukun-rukun yang telah dijelaskan di atas. Di antara syarat-syarat yang mesti dipenuhi oleh masing-masing rukun itu adalah sebagai berikut:

1. Waqif (orang yang memberikan wakaf)
Syarat yang harus dipenuhi oleh wakif menjadi polemik di kalangan ulama fikih. Wahbah al-Zuhaily menyebutkan syarat wakif itu ada 4 macam: (a) Merdeka, tidak sah wakaf seorang budak karena ia tidak mempunyai milik/harta. (b) Berakal, tidak sah wakaf orang gila, tidak sah pula wakaf orang yang kurang akalnya. (c) Baligh, tidak sah wakaf anak kecil, baik ia sudah mumayiz atau belum. (d) Cerdas, bukan mahjur dengan sebab bodoh atau pailit[40]
Al-Nawawi mengungkapkan bahwa syarat orang yang berwakaf itu adalah orang yang perkataannya dapat dipertanggungjawabkan dan mempunyai kecakapan memberikan tabarru’ (sumbangan).[41] Sementara itu ulama lain seperti Ibnu Hajar dan Syarbaini dari Syafi’iyah menegaskan bahwa syarat yang perlu itu hanyalah cakap bertindak hukum (mukallaf) saja, sedangkan yang pertama tidak termasuk pada syaratnya. Tetapi menurut mereka lagi syarat yang kedua tersebut harus dilengkapi ketika hidup. Pentingnya kecakapan bertindak hukum di sini adalah karena wakaf merupakan sumbangan atau penyerahan harta yang dikeluarkan tanpa imbalan sehingga benar-benar dilakukan dengan keasadaran dari lubuk hati yang dalam. Oleh karena itu, mereka yang berwakaf itu bukanlah anak-anak, orang gila, bukan dalam keadaan terpaksa, tidak berada di bawah perwalian (kurator), bukan budak dan tidak dalam keadaan bangkrut.[42] Senada dengan hal itu, Jalaluddin al-Mahally menambahkan, si wakif bebas berkuasa atas haknya serta dapat menguasai atas benda yang akan diwakafkan, baik itu perorangan atau badan hukum. Wakif menurut al-Mahally mesti orang yang “shihhatu ibarah dan ahliyatut-tabarru”, si wakif harus cakap dalam bertindak hukum (bekwan heid). Jadi wakif itu tidak boleh orang yang berada dalam pengampuan, anak kecil dan harus memenuhi syarat umum bermuamalah (tabarru’). Wakaf menjadi sah, apabila si wakif telah dewasa, sehat fikirannya (akalnya) dan atas kemampuannya sendiri, tidak ada unsur lainnya, serta si wakif memiliki benda itu secara utuh.
Di samping itu, wakif harus sebagai pemilik sah dari harta yang akan diwakafkan, dengan bukti-bukti yang sah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Yang dimaksud dengan “dewasa” sebagaimana disebutkan sebelumnya, adalah menyadari dan mengetahui tujuan melepaskan hak miliknya kepada pihak lain, dalam hal ini kepada mauquf alaih. Kemudian si wakif tidak boleh orang yang punya hutang, jika dinilai seluruh hartanya yang akan diwakafkan hanya cukup sebatas untuk membayar hutangnya. Karena kewajiban yang terpenting baginya adalah menyelesaikan hutangnya kepada pihak yang memberi piutang. Sedangkan wakaf dalam hal ini bersifat sunnat. Mendahulukan yang wajib lebih di utamakan ketimbang hal yang hanya bersifat dianjurkan.
2. Syarat-syarat mauquf ‘alaih (orang yang menerima wakaf)
Orang yang menerima wakaf pada umumnya dapat dibagi kepada dua bagian, yaitu:
a. Orang-orang tertentu
Syarat ini memberikan peluang pemberian wakaf kepada masyarakat baik individu maupun kolektif. Namun demikian dalam prakteknya, muncul perbedaan di kalangan ulama fikih. Ibnu Abi Laila dan Ibnu Syubrimah membolehkan berwakaf kepada diri sendiri.[43] Karena menurutnya, penetapan sesuatu sebagai wakaf tidak sama dengan penetapannya sebagai milik. Misalnya, si pewakaf mewakafkan hartanya untuk dirinya sendiri. Dengan cara mewakafkan hartanya pada orang lain, dengan syarat dia juga mendapatkan hasil dari wakaf tersebut. Berbeda halnya dengan seseorang yang mewakafkan hartanya kepada mesjid atau madrasah dan ia ikut shalat atau belajar di dalamnya, di mana ia dapat memanfaatkan wakaf tersebut tetapi tidak dijadikan sebagai syarat.[44] Namun menurut hemat penulis, apabila ditujukan wakaf untuk kemashalatan umum, maka siapapun dapat mengambil manfaat daripadanya, termasuk si wakif sendiri. Seperti seseorang yang berwakaf mesjid, maka si wakif dapat pula memanfaatkan mesjid tersebut dengan shalat di dalamnya, atau seseorang mewakafkan madrasah untuk kepentingan umum, maka si wakif pun dapat memanfaatkan hasil dari madrasah itu dengan ikut belajar di dalamnya atau dinikmati oleh keluarga dan kerabatnya dengan belajar di sana. Berbeda halnya apabila wakaf ditujukan hanya untuk kemashlahatan orang tertentu saja yang hasil atau manfaatnya hanya boleh dimanfaatkan oleh orang-orang itu secara terbatas, maka dalam kondisi ini si wakif tidak dapat memanfaatkan secara bebas harta yang telah diwakafkannya tersebut.
b. Orang-orang tidak tertentu
Pada bagian ini bukan ditujukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, tetapi ditujukan untuk kemashalahatan publik atau seluruh masyarakat seperti masjid, lembaga pendidikan, sarana-prasarana umum, panti asuhan dan sebagainya. Dalam hal ini wakaf ditujukan untuk kepentingan orang banyak yang diwakili oleh beberapa orang yang dikenal dengan nazir.
Di samping itu mauquf alaih disyaratkan pula: a) hadir sewaktu penyerahan wakaf, b) ahli untuk memiliki harta yang diwakafkan, c) tidak orang yang durhaka terhadap Allah, dan d) orang yang menerima wakaf itu harus jelas, tidak dikeragui kebenarannya.
Kehadiran mauquf alaih sewaktu terjadinya ikrar wakaf karena dalam pandangan ulama-ulama fuqaha, wakaf tidak sah kepada orang yang belum jelas orangnya atau terhadap orang yang belum lahir. Seperti berwakaf untuk seorang bayi yang masih dalam kandungan ibunya, belum diketahui apakah anak itu akan hidup atau meninggal ketika lahir. Kemudian mauquf alaih disyaratkan juga ahli (cakap) dalam memiliki harta (menerima), maksudnya mauquf alaih bisa mempertanggungjawabkan dan memelihara harta wakaf itu serta memelihara wakaf sebagai amanah dari Allah yang harus dijaga. Disyaratkan pula mauquf alaih seorang yang bukan pendurhaka atau orang yang suka berbuat maksiat melawan hukum Allah. Selanjutnya mauquf alaih harus dinyatakan secara tegas dalam sighat selama tidak ada hukum yang mencegahnya.
Menurut M. Syekh Muhammad Khatib Asy-Syarbainy, [45] jika wakaf itu diberikan kepada seseorang atau badan hukum disyaratkan, mungkin untuk memilikinya, dari itu tidak sah wakaf terhadap janin dan budak. Jika wakaf diberikan kepada budak, berarti memberikan berwakaf kepada tuannya. Dan wakaf yang diberikan kepada binatang peliharaan adalah batal, hal itu dikatakan berwakaf kepada pemiliknya. Namun dipandang sah wakaf terhadap orang kafir zimmi.
Menurut Muhammad Jawad Mughniyah,[46]disyaratkan kepada mauquf ‘alaih itu hal-hal sebagai berikut: (a) orang yang bersangkutan ada di saat terjadinya wakaf. (b) Orang itu pantas untuk memiliki. (c) Orang yang menerima wakaf itu tidak mendurhakai Allah. (d) Hendaklah penerima wakaf itu jelas tidak dikeragui.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa penerima wakaf itu ada yang merupakan perorangan dan ada pula yang merupakan badan hukum dengan rukun dan syarat-syarat sebagai berikut:
a. Perorangan atau Badan Hukum tersebut ada pada waktu terjadinya wakaf.
b. Mauquf ‘alaih (penerima wakaf) mungkin atau pantas untuk memilikinya, sehingga harta wakaf itu tidak tersia-sia.
c. Tujuan wakaf itu tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai ibadah, dari itu mauquf ‘alaih tidak boleh orang yang durhaka.

3. Syarat-syarat mauquf (harta yang diwakafkan)
Dalam kitab-kitab fikih ditemui adanya perbedaan ulama dalam menetapkan persyaratan harta yang dapat diwakafkan. Sebagaian ulama fikih Mazhab Syaf’i dan Hanafi misalnya, mensyaratkan bahwa harta yang diwakafkan itu adalah benda yang tidak bergerak, kalaupun adanya membolehkan benda bergerak, itu tidak lebih dari sekedar pengecualian.[47] Sedangan ulama Mazhab Maliki dan Hanbali menetapkan persyaratan yang lebih luas, yakni boleh mewakafkan benda yang bergerak (al-manqul, al-musya’) dan tidak bergerak (al-‘aqar).[48]
Di samping itu, Abu Ishaq al-Syirazi (wafat 476H/1083M) berpendapat bahwa harta yang diwakafkan itu adalah yang dapat bertahan (tidak lenyap ketika dimanfaatkan) atau kekal zatnya.[49] Mayoritas ulama juga berpendapat, bahwa sifat benda yang diwakafkan itu mesti kekal zatnya atau tahan lama, tidak cepat habis seperti makanan. Beberapa contoh harta wakaf yang terjadi pada masa Rasul umumnya benda yang tahan lama dan kekal zatnya. Jadi semua barang yang dapat diperjualbelikan dengan ciri-ciri seperti di atas dapat diwakafkan tanpa menghabiskan barangnya. Artinya, tidak sah wakaf jika benda itu tidak dapat diambil mamfaatnya melainkan dengan merusaknya, seperti makanan atau minuman. Oleh sebab itu, benda yang dilarang untuk diperjualbelikan seperti babi dan barang yang bisa habis kalau dimamfaatkan atau cepat rusak tidak sah dijadikan wakaf.
Menurut al-Sayyid Sabiq, syarat-syarat mauquf adalah: (a) harta yang diwakafkan itu adalah sesuatu yang dapat diambil manfaatnya. (b) kekal ‘ain-nya (bendanya masih utuh serta telah diambil manfaatnya). Tidak mewakafkan sesuatu yang rusak bila diambil manfaatnya seperti makanan dan minuman serta apa yang cepat habis, seperti farfum/harum-haruman. (c) tidak boleh mewakafkan apa yang terlarang memperjual-belikannya, seperti barang rungguhan, anjing, babi dan binatang.[50]
Menurut Badran Abu Al-Ainainy,[51] syarat-syarat harta yang diwakafkan ada 4 syarat: (a) Benda/harta itu mempunyai nilai, maka tidak sah wakaf manfaat dan hak-hak dan tidak pula sah wakaf sesuatu. yang tidak mungkin diambil manfaatnya atau mungkin diambil manfaatnya akan tetapi dilarang oleh syara’. (b) Harta itu hendaklah dikenal serta diketahui secara sempurna di waktu mewakafkan supaya jangan membawa perbantahan dan me nimbulkan keraguan. (c) Harta atau benda yang diwakafkan adalah milik sempurna si wakif. (d) Harta yang diwakafkan itu tidak bercampur dengan harta yang lain.
Menurut Sayyid Bakar Ibnu Arif Billah,[52] syarat benda yang diwakafkan itu adalah: (a) Untuk selamanya dan tidak dibatasi oleh waktu, seperti saya wakafkan ini kepada si Zaid untuk setahun. (b) Langsung, maka tidak sah mengantungkannya dengan terjadinya sesuatu, misalnya: aku wakafkan harta ini kepada si Zaid, apabila telah muncul awal bulan. (c) Harta itu bisa diserahkan kepada mauquf alaih/penerima wakaf.
Menurut ulama Syafi’iyah benda yang diwakafkan itu harus untuk selama-lamanya; maka tidak sah wakaf yang dibatasi oleh waktu tertentu, seperti mewakafkan harta kepada seseorang selama satu tahun; dan tidak boleh mengantungkan dengan syarat tertentu kepada pihak yang menerima wakaf. Hal ini berbeda dengan pendapat Imam malik dan Abu Hanifah yang mengatakan bahwa wakaf boleh untuk waktu tertentu dan benda itu tetap berada dalam milik si wakif. Di samping itu benda yang diwakafkan itu mesti jelas wujudnya, bukan benda yang dikeragui dan bebas dari segala ikatan dan bebas dari segala beban.
Selain persyaratan tersebut, tunai juga merupakan hal yang perlu karena wakaf berarti memindahkan hak milik kepada waktu terjadinya wakaf.

4. Syarat-syarat sighat
Sighat adalah pernyataan wakif sebagai tanda penyerahan barang atau benda yang diwakafkan itu. Sighat dapat dilakukan dengan lisan maupun melalui tulisan. Dengan pernyataan itu tanggallah hak wakif atas benda tersebut.
Sighat itu mempunyai syarat tetentu pula, yaitu: sighat itu tidak digantungkan, tidak diiringi syarat-syarat tertentu, jelas dan terang, tidak menunjukkan atas waktu tertentu atau terbatas, tidak mengandung pengertian untuk mencabut kembali terhadap wakaf yang telah diberikan. Karena tindakan mewakafkan sesuatu dipandang sebagai perbuatan hukum sepihak, maka pernyataan si wakif itu merupakan ijab yang dengan sendirinya perwakafan telah terjadi ketika itu juga. Pernyataan qabul dari maukuf alaih, tidak disyaratkan. Dalam ibadah wakaf, hanya ada ijab tanpa qabul.
Untuk menjelaskan syarat-syarat shighat ini, dapat penulis kutipkan lagi dan beberapa pendapat dari para ahli fiqh. Menurut Sayyid Sabiq,[53] wakaf itu sah dan diakadkan dengan salah satu dua cara yaitu: (a) perbuatan yang menunjukkan terjadinya wakaf seperti membangun sebuah mesjid dan mengizinkan orang shalat padanya. (b) perkataan, yang terdiri dari sharih dan kinayah. Adapan sharih contohnya: “Aku jadikan untuk jalan Allah”, “aku wakafkan”, “aku tahan manfaatnya”, “aku kekalkan”, lafaz kinayah seperti: kata si wakif, aku sedekahkan, tetapi dia berniat wakaf.
Menurut Ibnu Qudamah, [54] lafal-lafal wakaf itu ada 6 macam, tiga di antaranya sharih (tegas) dan tiga di antaranya kinayah (sindiran). Yang sharih itu seperti: “Aku wakafkan”, “aku tahan”, “aku alirkan”. Adapun yang kinayah seperti “aku sedekahkan”, “aku haramkan” dan “aku kekalkan”, namun niatnya wakaf.
Dari pendapat fuqaha’ tersebut di atas dapat dipahami bahwa lafal/shighat/ucapan dalam pelaksanaan wakaf merupakan penentu jadi atau tidaknya suatu perwakafan. Shighat atau ucapan wakif itu ada yang sharih/tegas dan ada yang kinayah/sindiran Jika salah satu dan lafaz tersebut telah digunakan, maka perbuatan wakaf telah teraqad (terjadi).
Selain itu, persyaratan umum yang harus diperhatikan dalam melaksanakan wakaf di antaranya ialah:
a. Tujuan wakaf itu tidak boleh bertentangan dengan kepentingan agama Islam. Oleh karena itu mewakafkan rumah untuk dijadikan tempat ibadah agama lain tidak sah.
b. Jangan memberikan batas waktu tertentu dalam perwakafan, karena itu tidak sah seseorang menyatakan saya wakafkan kebun ini selama satu tahun
c. Tidak mewakafkan barang yang menjadi larangan Allah barang siapa yang mewakafkan sesu.atu yang dapat memberi mudharat kepada ahli warisnya, maka wakaf— nya menjacli bathal.
d. Kalau wakaf diberikan melalui wasiat, baru terlaksana setelah si wakif meninggal dunia, maka jumlahnya atau nilai harta diwakafkan tidak boleh lebih dan 1/3 harta.

D. Nazir Wakaf
Sebagaimana yang diketahui bahwa asas dari wakaf adalah azas manfaat. Oleh karena itu supaya harta wakaf dapat diambil manfaatnya sebaik mungkin dan dapat dipelihara dengan baik, maka diperlukan orang yang akan bertindak mengurus dan mengelola harta wakaf. Orang yang bertindak mengelola dan mengurus harta wakaf dinamakan nazir.
Pada pasal ini diuraikan secara ringkas tentang nazir wakaf yang meliputi: Syarat-syarat kewajiban/wewenang nazir serta hak-haknya.
1. Syarat-syarat nazir
a. Menurut Jalaluddin al-Mahally:
وشروط الناظر : العدالة والكفاية والأهنداء إلى التصرف [55]

Syarat nazir wakaf itu adalah: ‘adalah dan kafayah serta mempunyai kemampuan untuk bertindak hukum.

b. Menurut Imam Manshur al-Bahwaty:
يشترط الناظر : الإسلام والتكليف والكفاية فى التصرف [56]
Dan nazir itu orang Islam, mukallaf dan mempunyai kesanggupan bertindak hukum.

Berdasarkan ungkapan fuqaha’ di atas dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat nazir wakaf itu adalah adil, berakal sehat, mukallaf dan mempunyai kesanggupan untuk bertindak hukum. Seluruh syarat ini memang dituntut dari nazir supaya harta wakaf dapat berfungsi dengan baik. Sebagai nazir dia adalah pemegang amanah dari si wakif.
2. Kewajiban/wewenang nazir
a. Menurut Jalaluddin al-Mahally:
وظيفته العمارة والإجارة وتحصيل الغلة وقسمها على مستحقها[57]
Kewajiban/wewenang nazir itu adalah mengembangkan, menyewakan, mendapatkan hasil dan (harta) dan membagikan hasilnya itu kepada orang yang berhak menenimanya.

b. Menurut Syamsuddin Muhammad:
ووظيفته عند الإطلاق حفظ الأصول والغلات على وجه الإحتياط والإجارة والعمارة وتحصيل الغلة وقسمها[58]
Secara umum kewajiban/wewenang nazir wakaf itu adalah memelihara asal materinya dan keuntungannya dengan cara sewaspada mungkin, menyewakan, mengembangkan, mendapatkan hasilnya serta membagi-bagikannya.

Berdasarkan keterangan fuqaha di atas dapat dipahami bahwa secara umum kewajiban/wewenang nazir wakaf adalah memelihara, mengelola dan mengembangkan harta wakaf sesuai dengan tujuan dari wakaf.
3. Hak nazir.
Adapun nazir dalam mengoperasionalkan harta wakaf boleh menikmati/mengambil sebahagian dari harta wakaf untuk memenuhi kebutuhannya dengan cara yang baik. Kebolehan itu dipertegas lagi oleh hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari berikut :
حدثنا قتيبة بن سعيد حدثنا محمد بن عبد الله الأنصاري حدثنا ابن عون قال أنبأني نافع عن ابن عمر رضي الله عنهما أن عمر بن الخطاب أصاب أرضا بخيبر فأتى النبي صلى الله عليه وسلم يستأمره فيها فقال يا رسول الله إني أصبت أرضا بخيبر لم أصب مالا قط أنفس عندي منه فما تأمر به قال إن شئت حبست أصلها وتصدقت بها...... لا جناح على من وليها أن يأكل منها بالمعروف ويطعم غير متمول. قال: فحدثت به ابن سرين: غير متماثل مالا .(رواه البخارى) [59]
“Menceritakan kepada kami Qutaibah ibn Said, menceritakan kepada kami Muhammad ibn Abdullah al-Anshari, menceritakan kepada kami Ibnu Aun, bahwa dia berkata, Nafi’ telah menceritakan kepadaku ibn Umar r.a bahwa: “Umar ibn al-Khaththab memperoleh tanah di Khaibar, lalu ia datang kepada Nabi SAW. untuk minta petunjuk mengenai tanah tersebut. Ia berkata: “Wahai Rasulullah SAW! Saya memperoleh lahan di Khaibar, yang belum pernah saya peroleh harta yang lebih baik bagiku melebihi harta tersebut; apa perintah engkau kepadaku mengenainya? Nabi SAW. menjawab: “Jika mau, kamu tahan pokoknya dan kamu sedekahkan hasilnya”……Tidak berdosa atas orang yang mengelolanya (nazir) untuk memakan dari hasil tanah itu secara ma’ruf (wajar) dan memberi makan (kepada yang lain) tanpa menjadikannya sebagai harta hak milik. Rawi berkata: dalam hadis Ibnu Sirrin dikatakan: “Tanpa menyimpannya sebagai harta hak milik”. (H.R al-Bukhari).
Berdasarkan hadis di atas dapat diambil dipahami bahwa nazir boleh mengambil manfaat dari harta wakaf. Manfaat yang diambil tersebut tidak boleh berlebih-lebihan. Karena kalau berlebih-lebihan akan dapat mengurangi hak mauquf alaih. Pada hal yang dituju oleh wakif dalam mewakafkan hartanya adalah supaya dapat dimanfaatkan oleh mauquf ‘alaih. Sedangkan nazir hanya bertugas sebagai pengelola. Sebagai imbalannya, ia boleh menikmati harta wakaf dengan syarat tidak berlebihan.
[1]Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka Progresif, 1984), h. 1683.
[2]Ibnu Qudamah, al-Mughni, (Riyadh: Riyadh Maktabah ibn Qudamah, [t.th.], juz. 6, h. 157.
[3]Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia, (Bandung: Yayasan Piara, 1995), h. 6. Lihat juga M. Muhammad Fadhlullah dan B. Th. Brondgest, Kamus Arab-Melayu, (Jakarta: Balai Pustaka, 1925), h. 1011. Lihat juga ‘Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf, (Jakarta : UI Press, 1988), h. 80.
[4]Ibid., jilid. 4, h. 116-117.
[5]John Alden Williams, The Encyclopaedia of Islam, (Leiden : T.pn. 1943), h. 337.
[6]Abu Louis Ma’luf al-Yusu’i, al-Munjid fi al-Lughah, (Bairut : Maktabah Suarkiyah, 1977), h. 914.

[7]Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Bairut: Taba’at wa al-Nasyar, 1983), cet. 44, Jilid III, h. 378.
[8]Muhammad Jawad Mughniyah, al-Ahwal al-Syahsiyyah, (Bairut: Dar al-Ilmy al-Malayin, 1964), h. 378.
[9]Muhammad Daud Ali, op.cit., h. 80.

[10]Muhammad Amin ibn Abidin, Hasyiyah Rad al-Mukhtar, (Beirut : Dar al-Fikr, 1992), juz IV, h. 337.
[11]Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Mesir: Dar al-Fikr, [t.th.]), jilid 1, h. 378.
[12]Istilah habs, sadaqah dan tasbil dibangsakan atau diberikan sebagai gelar kepada ulama zaman Nabi karena mereka cinta bersedekah dan berwakaf serta rela memanfaatkan apa saja yang dimilikinya untuk agama. Ibid.
[13]Muhammad Jawad al-Mughniyah, al-Ahwal al-Syakhsiyah, (Mesir Dar al-Ilmi fi al-Malayin, 1964), h. 301.
[14]Muhammad Musthafa Tsalabi, al-Ahkarn al-Washaya wa al-Awqaf, (Mesir: Dar al-Tha’if, [t.th.]) h. 333.
[15]Ibid.
[16]Syamsuddin Muhammad ibn Abi al-Abbas Ahmad ibn Hamzah ibn Syihabuddin al-Ramli al-Manufi al-Anshari al-Syafi’i al-Shagir, Nihayatu al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj fi al-Fiqh ‘ala Mazhab al-Imam al-Syafi’i, (Riyadh: Musthafa al-Babi al-Halabi wa Auladih, 1938), juz II, h. 355.

[17]Ibnu Qudamah, al-Mughni, (Riyadh: Riyadh Maktabah Ibnu Qudamah, [t.th.]), juz 6, h. 157.
[18]Muhammad Abu Zahrah, Muhadharat fi al-Waqf, (Kairo: Dar al-Fikr, 1971), h. 41. Bandingkan dengan Muhammad Jawad Mughniyah, op.cit., h. 335.
[19]Abdul Wahab Khalaf, Ahkam al-Awqaf, (Kairo: Mathbaah al-Misri, 1951), h. 14.
[20]Muhammad ibn Ismail al-Kahlani, Subul a-Salam, (Khairo: Muhammad Ali al-Shabih, [.th]) juz. II, h. 114.
[21]Abu Hasan Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Mawardi al-Bisri, al-Hawi al-Kabir fi Fiqh Mazhab al-Imam al-Syafi’i, (beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1994), Juz. VII, h. 511.
[22] Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977.
[23]Kompilasi Hukum Islam adalah suatu himpunan bahan-bahan Islam dalam suatu buku atau lebih tepat lagi himpunan kaidah hukum Islam yang disusun secara sistematis dengan berpedoman kepada rumusan atau pasal-pasal yang lazim digunakan dalam perundang-undangan. KHI lahir ditetapkan melalui Inpres Nomor 1 Tahun 1991. KHI dinyatakan sebagai pedoman oleh instansi pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang perkawinan, kewarisan dan perwakafan. KHI terdiri dari tiga buku: Buku I tentang perkawinan, Buku II tentang kewarisan dan Buku III tentang perwakafan. Dengan adanya KHI, maka perbedaan-perbedaan yang sering terjadi antara satu putusan pengadilan agama dengan lainnya dapat dihindari, karena para hakim agama telah diseragamkan dalam mengambil rujukan diterpakan di pengadilan. Lihat : Kompilasi Hukum Islam (KHI) Buku III pasal 215.
[24]Jawad Mughniyah, op.cit., h. 334.
[25]Al-Sayyid Sabiq, op.cit., h. 378.
[26]Imam al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), bab al-zakat hadis nomor 1368, Imam al-Turmuzi, bab al-Tafsir al-Quran 'ann Rasulillah, hadis nomor 2923; Imam al-Nasa’i dalam Sunan al-Nasa’i, bab al-ahbas, hadis nomor 2545; Imam Abu Daud dalam Sunan Abi Daud, bab al-zakat, hadis nomor 1439; Imam Ahmad ibn Hanbal dalam Musnad Ahmad, bab masnad al-muktsirin min al-shahabah, hadis nomor 11985, 12319, 13193, 13268, dan 13525; Imam Malik dalam Muwatha' Imam Malik, bab al-Jami' hadis nomor 1582; Imam al-Daramiy, dalam Sunan al-Daramiy, bab al-zakat, hadis nomor 1596.
[27]Ahmad Azhar Basir, Hukum Islam Tentang Wakaf, Ijarah, Syirkah, (Bandung: Al Ma’arif, 1987), cet. Ke-2, h. 5.
[28]Al-Bukhari, loc.cit. Lihat juga al-Sayyid Sabiq, op-cit., h. 222.
[29]Jalaluddin Abdurrahman al-Suyuthi, Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul, alih Bahasa: Rohadi Abu Bakar, Terjemah Asbabun Nuzul, Sebab-sebab Turun Ayat Al-Quran, (Semarang: Wicana-Berkah Ilahi, 1986), h. 47.
[30]Ibid.

[31]Ibn Katsir al-Qursiy al-Dimasyiqy, Tafsir Ibn Katsir, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), juz. I, h. 315.
[32]Al-Imam Abu al-Husain Muslim ibn al-Hujjaj al-Qushairi al-Naisaburi, Shahih Muslim, (Beirut: dar al-Fikr, t.th), juz 3, h. 1255. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam al-Turmuzi dalam Sunan al-Turmuzi, bab al-Ahkam ‘an Rasulillah, hadis nomor 1297; Imam al-Nasa’i dalam Sunan al-Nasa’i, bab al-washaya, hadis nomor 3591; Imam Abu Daud, bab al-washaya hadis nomor 2494 dan dalam bab al-buyu’ hadis nomor 3073; Imam Ahmad ibn Hanbal dalam Musnad Ahmad, bab al-baqi musnad al-muktsirin, hadis nomor 7479; dan al-Darimi dalam Sunan al-Darimi, bab al-muqaddimah, hadis nomor 558.
[33]Imam al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), bab al-syuruth hadis nomor 2532, diriwayatkan juga oleh Imam Muslim dalam Shahih Muslim, op.cit., bab al-washaya hadis nomor 3080; Imam al-Turmuzi, bab al-Ahkam ‘an Rasulillah, hadis nomor 1296; Imam al-Nasa’i dalam Sunan al-Nasa’i, bab al-ahbas, hadis nomor 3546 dan 3547; Imam Abu Daud dalam Sunan Abi Daud, bab al-washaya, hadis nomor 2493; Imam Ibnu Majah dalam Sunan Ibnu Majah, bab al-ahkam hadis nomor 2387 dan 2388; Imam Ahmad ibn Hanbal dalam Musnad Ahmad, bab masnad al-muktsirin min al-shahabah, hadis nomor 4379, 4923 dan 5805.
[34]Imam al-Nasa’i, op.cit., h. 232.
[35]Imam al-Bukhari, op.cit., bab al-shalat hadis nomor 410, diriwayatkan juga oleh Imam Muslim dalam Shahih Muslim, bab al-masjid wa mawadha' al-shalat nomor 816 dan 817; Imam al-Turmuzi, bab al-shalat, hadis nomor 318; Imam al-Nasa’i dalam Sunan al-Nasa’i, bab al-masajid, hadis nomor 695; Imam Ahmad ibn Hanbal dalam Musnad Ahmad, bab baqi musnad al-muktsirin, hadis nomor 11885 dan 12548.

[36]Rukun artinya sudut, tiang penyangga yang merupakan sendi utama atau unsur pokok dalam pembentukan sesuatu. Tanpa rukun, sesuatu itu tidak akan tegak berdiri. Begitu pula syarat-syarat yang menentukan sah atau tidaknya suatu wakaf.
[37]M. Anwar Ibrahim, Wakaf dalam Islam, dalam kumpulan Makalah Wokshop Internasional di Batam tanggal 7-8 Januari 2002, h. 6.
26Muhammad Syatha’ al-Dimyathi, I‘anah al-Thalibin, (Mesir: Musthafa al-Baby al-Halaby, t.th.), h. 156
[39]Ibid.
[40]Wahbah al-Zulhaili, al-Fiqh al-Islamy wa Adilatuh, (Beirut; Dar al-Fikr, 1983), juz. VI, h. 176.
[41]Al-Nawawi, al-Raudhah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.), juz. IV, h. 377.
[42]Al-Syarbaini, Mughni al-Muhtaj, (Kairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, t.th.), juz. II, h. 377. Lihat juga al-Bajuri, Hasyiyah al-Bajuri, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), Juz. II, h. 44.

[43] Al-Nawawi, op.cit., h. 383.
[44] Al-Syarbaini, op.cit., h 380.
[45]Al Syarbainy, loc.cit.
[46]Muhammad Jawad Mughniyah, op.cit., h. 12.
[47]Muhammad Abu Zahrah, Mudharat fi al-Waqf, (Kairo: Dar al-Fikr, 1971), h. 41.
[48]Abd. Al-Rahman ibn Qasim al-‘Ashimi, Majmu’ fatawa Syeikh al-Islam Ahmad ibn Taimiyah, (T.t: T.tp, t.th.), Juz. 31, h, 334. Lihat juga: Hasan Kamil Multhawi, Fiqh al-Mu’amalat ‘ala Mazahib al-Imam Malik, (Kairo: T.pn, 1972), h. 203.
[49]Abi Ishaq al-Syirazi, al-Muhazzab, (Kairo: Zakaria Yusuf, t.th), juz. XIV, h. 572.
[50]Al-Sayyid Sabiq, op.cit., h. 382.
[51]Badran Abu al-‘Ainainy Badran, Ahkam al-Washaya wa al-Awqaf (Iskandariyah; [t. pn], 1986), h. 189.
[52]Sayyid Bakar Ibnu Arif Billah, I’anatu ath-Thalibin , (Mesir: Dar al-Ma'arif, 1983), juz 3, h. 156.
[53]Al-Sayyid Sabiq, op.cit., h. 381.
[54]Ibnu Qudamah, Al-Mughni, (Kairo: Maktabah Jumhuriyah tt.) Juz. V, h. 602.

[55]Jalaluddin al-Mahally, Qalyubi wa al-‘Amirah, (Mesir: Dar al-Ihya, t.th), jilid III, h. 109.
[56]Manshur, Al-Raudlul Murbi, (Mesir: Maktabah al-Hadits, 1970), h. 464.
[57]A1-Mahaly, loc.cit.
[58]Syamsuddin Muhammad ibn Abi al-Abbas, Nihayah al-Muhtaj, (Mesir: al-Mathbaah al-Halaby, t.th), juz. 5, h. 399.
[59]Imam al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), bab al-syuruth hadis nomor 2532, diriwayatkan juga oleh Imam Muslim dalam Shahih Muslim, op.cit., bab al-washaya hadis nomor 3080; Imam al-Turmuzi, bab al-Ahkam ‘an Rasulillah, hadis nomor 1296; Imam al-Nasa’i dalam Sunan al-Nasa’i, bab al-ahbas, hadis nomor 3546 dan 3547; Imam Abu Daud dalam Sunan Abi Daud, bab al-washaya, hadis nomor 2493; Imam Ibnu Majah dalam Sunan Ibnu Majah, bab al-ahkam hadis nomor 2387 dan 2388; Imam Ahmad ibn Hanbal dalam Musnad Ahmad, bab masnad al-muktsirin min al-shahabah, hadis nomor 4379, 4923 dan 5805.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BERANDA